11 tahun yang lalu pada tragedy sampit yaitu pada tanggal 18 februari 2001 Primordialisme dan etnosrentrisme yang ada di masyarsakt Indonesia dapat menimbulkan konflik dan akan mengancam keutuhan NKRI. Faktor ini merupakan dari salah satu konsekuensi dari adanya diferensiasi sosial yang menganggap suku bangsa dan kebudayaannya lebih tinggi dari pada suku lain. Serta pemilik suku mempunyai ikatan yang kuat dengan sukunya.
Negara indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa atau bangsa yang majemuk, maka secara otomatis suku-suku yang ada di Indonesia berpotensi untuk terjadi perpecahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya konflik antaretnis/suku yang pernah terjadi seperti tragedi sampit. Sebenarnya entah apa yang membuat suku dayak begitu geram dan beringas terhadap suku madura, hampir semua suku madura yang berada di Pulau Kalimantan habis dibantai. Menurut beberapa sumber, hal ini terjadi karena sikap suku madura yang tidak mempunyai rasa rohmat sebagai pendatang kepada tuan rumah, sampai merampas hak suku dayak diatas tanah adat mereka dan banyak juga kasus yang merugikan suku dayak yang telah dilakukan oleh suku madura, seperti pembunuhan, kekerasan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh suku madura terhadap suku dayak tanpa adanya ganjaran hukum yang pasti. Mungkin hal seperti ini yang membuat suku dayak geram karena selalu ditindas oleh suku madura sehingga mereka pun membabi buta membantai suku madura. Dan kasus ini pun diselesaikan melalui dialog yang mempertemukan pemimpim Madura dan Dayak. kemudian LSM dan kelompok mahasiswa juga mengadakan pertemuan dan mengeluarkan pernyataan yang mendesak diakhirinya kekerasan dan menyerukan penyelesaian konflik.
Peristiwa Memicu Tragedi Sampit Dayak vs Madura
Sebelum peristiwa berdarah meledak di Sampit, pertikaian antara suku Dayak dan suku Madura telah lama terjadi. Entah apa penyebab awalnya (Hanya Tuhan yang tau), yang jelas suku Dayak dapat hidup berdampingan dengan damai bersama suku lain tapi tidak suku Madura. Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura…??? Bahkan keturunan suku terdekat dari suku Dayak pun (Banjar), kaget melihat keberingasan mereka dalam Tragedi Sampit.
Menengok kembali peristiwa lama yang mungkin termasuk pemicu terjadinya Tragedi sadis di Sampit.
Ø Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat (Entah benar entah tidak pelakunya orang Madura)
Ø Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
Ø Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
Ø Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
Ø Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang
Dayak adalah dihukum berat.
Ø Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
Ø Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun tidak ada penyelesaian secara hukum.
Ø Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
Ø Tahun 1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
Ø Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
Ø Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
Ø Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
Ø Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
Ø Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
Ø Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Ø Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.
Lanjut cerita: Banyak Versi tentang latar belakang tragedi ini, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura. Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.
Ada Versi lain mengatakan: Terjadinya perang antar suku Dayak dan suku Madura karena kecemburuan sosial-Ekonomi.
Versi berbeda juga menceritakan: Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum.
Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini.
Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi penyebab pecahnya “perang” tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian Versi lain ini adalah tidak benar.
Ada yang mengungkapakan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit kemana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala diantara mereka terlibat keributan dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala
Saat terjadi pembantaian di Sampit entah bagaimana cara mereka (Etnis Dayak) yang tengah di rasuki kemarahan membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari “serangan beringas” orang-orang Dayak.
sumber : Republika, Tangisan Bumi Pertiwiku dan beberapa situs lainnya
Negara indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa atau bangsa yang majemuk, maka secara otomatis suku-suku yang ada di Indonesia berpotensi untuk terjadi perpecahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya konflik antaretnis/suku yang pernah terjadi seperti tragedi sampit. Sebenarnya entah apa yang membuat suku dayak begitu geram dan beringas terhadap suku madura, hampir semua suku madura yang berada di Pulau Kalimantan habis dibantai. Menurut beberapa sumber, hal ini terjadi karena sikap suku madura yang tidak mempunyai rasa rohmat sebagai pendatang kepada tuan rumah, sampai merampas hak suku dayak diatas tanah adat mereka dan banyak juga kasus yang merugikan suku dayak yang telah dilakukan oleh suku madura, seperti pembunuhan, kekerasan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh suku madura terhadap suku dayak tanpa adanya ganjaran hukum yang pasti. Mungkin hal seperti ini yang membuat suku dayak geram karena selalu ditindas oleh suku madura sehingga mereka pun membabi buta membantai suku madura. Dan kasus ini pun diselesaikan melalui dialog yang mempertemukan pemimpim Madura dan Dayak. kemudian LSM dan kelompok mahasiswa juga mengadakan pertemuan dan mengeluarkan pernyataan yang mendesak diakhirinya kekerasan dan menyerukan penyelesaian konflik.
Peristiwa Memicu Tragedi Sampit Dayak vs Madura
Sebelum peristiwa berdarah meledak di Sampit, pertikaian antara suku Dayak dan suku Madura telah lama terjadi. Entah apa penyebab awalnya (Hanya Tuhan yang tau), yang jelas suku Dayak dapat hidup berdampingan dengan damai bersama suku lain tapi tidak suku Madura. Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura…??? Bahkan keturunan suku terdekat dari suku Dayak pun (Banjar), kaget melihat keberingasan mereka dalam Tragedi Sampit.
Menengok kembali peristiwa lama yang mungkin termasuk pemicu terjadinya Tragedi sadis di Sampit.
Ø Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat (Entah benar entah tidak pelakunya orang Madura)
Ø Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
Ø Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
Ø Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
Ø Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang
Dayak adalah dihukum berat.
Ø Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
Ø Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun tidak ada penyelesaian secara hukum.
Ø Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
Ø Tahun 1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
Ø Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
Ø Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
Ø Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
Ø Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
Ø Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
Ø Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Ø Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.
Lanjut cerita: Banyak Versi tentang latar belakang tragedi ini, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura. Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.
Ada Versi lain mengatakan: Terjadinya perang antar suku Dayak dan suku Madura karena kecemburuan sosial-Ekonomi.
Versi berbeda juga menceritakan: Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu “terdesak” dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum.
Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura.
Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini.
Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi penyebab pecahnya “perang” tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian Versi lain ini adalah tidak benar.
Ada yang mengungkapakan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit kemana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang “tamu”-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala diantara mereka terlibat keributan dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala
Saat terjadi pembantaian di Sampit entah bagaimana cara mereka (Etnis Dayak) yang tengah di rasuki kemarahan membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari “serangan beringas” orang-orang Dayak.
sumber : Republika, Tangisan Bumi Pertiwiku dan beberapa situs lainnya
VIPQIUQIU99.COM AGEN JUDI DOMINO ONLINE TERPERCAYA DI INDONESIA
BalasHapusKami VIPQIUQIU99 AGEN JUDI DOMINO ONLINE TERPERCAYA DI INDONESIA mengadakan SEO Kontes atau Kontes SEO yang akan di mulai pada tanggal 20 Januari 2017 - 20 Mei 2017, dengan Total Hadiah Rp. 35.000.000,- Ikuti dan Daftarkan diri Anda untuk memenangkan dan ikut menguji kemampuan SEO Anda. Siapkan website terbaik Anda untuk mengikuti kontes ini. Buktikan bahwa Anda adalah Ahli SEO disini. Saat yang tepat untuk mengetest kemampuan SEOAnda dengan tidak sia-sia, hadiah kontes ini adalah Rp 35.000.000,-
Tunggu apa lagi?
Kontes SEO ini akan menggunaka kata kunci (Keyword) VIPQIUQIU99.COM AGEN JUDI DOMINO ONLINE TERPERCAYA DI INDONESIA Jika Anda cukup percaya akan kemampuan SEO Anda, silahkan daftarkan web terbaik Anda SEKARANG JUGA! Dan menangkan hadiah pertama Rp. 10.000.000. Keputusan untuk Pemenang Akan di tentukan dengan aturan kontes SEO yang dapat dilihat di halaman ini.
Tunggu apa lagi? Ikuti kontes ini sekarang juga!
CONTACT US
- Phone : 85570931456
- PIN BB : 2B48B175
- SKYPE : VIPQIUQIU99
- FACEBOOK: VIPQIUQIU99