Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Konsep Sosiologi

Comte sangat menekankan makna ilmiah dari sosiologi. Bahkan lahirnya disiplin tersebut terikat pada ide fundamental bahwa seorang harus mempergunakan metode-metode pengamatan yang dipakai oleh ilmu-ilmu alam untuk mempelajari gejala-gejala sosial. Emile Duekheim kelak setuju dengan mengatakan bahwa kita harus memperlakukan fakta-fakta sosial. “ Sebagaimana kita memperlakukan benda-benda”. Kemudian kita akan melihat bahwa para ahli sosiologi modern tidak sleuruhnya menganut pandangan ini.



Sikap positivis ini  merupakan suatu revolusi intelektual yang murni sampai dengan abad delapan belas, fakta-fakta sosial dipelajari terutama dari titik tilik filosofis dan etis. Ada usaha yang dibuat untuk memberikan batasan bukan tentang apakah suatu masyarakat itu, akan tetapi apakah seharusnya masyarakat itu di dalam kerangka keyakinan-keyakinan metafisik dan agama terhadap hakikat manusia dan masyarakat harus dipelajari “seperti benda-benda” secara ilmiah, kedengarannya bersifat menghujah menodai sesuatu yang dianggap sakral atau suci.

Dalam tahap awal ini, metode untuk menganalisa fakta-fakta sosial pada hakikatnya deduktif, berdasarkan prinsip-prinsip tertentu,obyek-obyek kepercayaan tertentu. Tidak ada kemungkinan untuk membuktikan premisa-premisa dasar secara ekspreimental. Kesimpulan-kesimpulan ditarik dari prinsip-prinsip  ini melalui penalaran yang logis. Dengan demikian hasilnya bersifat “normatif”, mereka dipakai untuk memberikan batasan hukum-hukum (atau “norma-norma”) yang bisa memungkinkan “suatu masyarakat yang baik” berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip metafisik dan moral yang diletakkan sebagai basis penalaran. Untuk mengungkapkan hakikat yang benar dari manusia, benda-benda dan peristiwa-peristiwa, maka metode ini bukannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tentang kenyataan,” akan tetapi didasarkan pada “ pertimbangan nilai” yang dihadapi manusia, tentang baik dan jahat, benar dan salah, defenisi-defenisi yang dianggap absolut dan kudus. Aturan-aturan tingkah laku atau norma-norma diambil dari pertimbangan nilai ini.
Tentu saja sejak masa-masa dahulu, beberapa penulis berusaha untuk mempelajari fakta-fakta sosial secara ilmiah. Aristoteles adalah perintis dalam hal ini dan kemudian, machiavelli (the Prince, 1542) dan Jean Bodin (The Republic, 1577), akan tetapi karya-karya mereka adalah pengecualian. Tambahan pula, sampai pada tingkat tertentu mereka memantulkan kecenderungan umum bagi studi filosofis dan etis terhadap fakta-fakta sosial. Analisa-analisa ilmiah dibumbui oleh keputusan-keputusan nilai, orientasi umum penelitian tetap normatif.

Titik balik tejadi dengan Montesquieu, bukunya spirit of laws (1784) adalah pembahasan atau karya pertama di dalam sosiologi politik. Disini kita laporkan apa yang ada dan bukannya apa yang seharusnya ada”, demikian dimaklumkan tuan tanah dari La Brede ini yang mewariskan dunia dengan defenisi hukum yang baik dalam artian ilmiah sesungguhnya. “Namun, karya-karyanya juga dalam jangka waktu yang lama tetap merupakan usaha yang terpencil. Kecuali sosiologi ekonomi, baru pada abad kesembilan belas penelitian dalam ilmu sosial membuat langkah-langkah menuju obyektivitas. Bilamana comte pertama-tama berpikir untuk membapyiskan ilmu yang baru dengan nama “fisika sosial,” hal tersebut dilakukannya dengan maksud yang jelas untuk mempergunakan suatu istilah yang menunjukkan pentingnya mengambil alih metode-metode pengamatan yang sama yang menjadi ciri ilmu-ilmu alam dan fisika. Sikap dasar ini masih tetap berlaku untuk merumuskan osiologi pada masa kita . ilmu-ilmu sosial adalah ilmu sejauh mereka berusaha, sebagaimana ilmu-ilmu alam, untuk memberikan deskripsi dan menjelaskan gejala-gejala yang sebenarnya dengan teknik-teknik pengamatan dan merumuskan “ reality judgments” dan bukannya “value judgments”. Namun, sementara itu konsep-konsep umum tentnag ilmu juga mengalami perubahan.

Konsep Modern Tentang Pengetahuan Ilmiah

Selama lima puluh tahun yang terakhir konsep ilmu telah mengalami perubahan-perubahan radikal, dengan gema-gema yang tertangkap di dalam bidang sosiologi. Perdebatan hangat pertama-tama terjadi dikalangan ahli-ahli filsafat tahun 1930an tentang masalah batas-batas determinisme, justru dasar dari penelitian ilmiah.

Agar ilmu mampu menjelaskan “hubungan-hubungan yang niscaya yang berasal dari hakikat benda-benda,” maka hubungan ini harus sungguh-sungguh niscaya, dengan kata lain, anteseden khusus A harus selalu dan mau tidak mau menghasilkan akibat B. Inilah apa yang kita maksudkan dengan “determinisme”, Kini studi-studi atomik mengatakan bahwa hubungan-hubungan fisikal tidak secara tegas bersufat deterministik, sehingga bagi sebuah anteseden A bisa saja ada beberapa hasil B, C, D dan seterusnya, tanpa sepengetahuan kita yang manakah yang muncul. Kita hanya tahu kemungkinan nisbi (relative probability) masing-masingnya (Louis de Broglic). Pada pihak lain, dalam beberapa bidang lain kita mampu merumuskan sejenis “hubungan ketidakpastian” (relationship of uncertainty): semakin pasti dan deterministik satu unsur di dalam sekelompok unsur, semakin kurang kadar kebenarannya mengenai hubungan korelatifnya.

 Heisenberg membuktikan semakin tepat kita menentukan posisi suatu obyek yang bergerak, semakin kurang kemungkinanya bagi kita untuk menentukan kecepatannya (velocity). Ini membuatnya tidka mungkin untuk memberikan batasan tentang trajectory dengan kepastian absolut. Akan tetapi ahli filsafat membuat generalisasi dari kasus-kasus spesifik dari analisa ilmiah yang mereka tidak sepernuhnya berwenang untuk memahaminya. Analisa-analisanya tidak pernah merupakan jaminan bagi generalisasi-generalisasi menurut tafsirannya.

Dari Deteminisme Absolut Kepada Determinisme Statistika
Hal penting yang pertam-tama yang harus dicamkan adalah fakta bahwa ilmu dan deteminisme tidka lagi merupakan pemikiran masa kini sebagiman pada akhir abad sembilan belas, dan awal abad dua puluh, ketika perdebatan besar berkecamuk tentang isu-isu fundamental ini. Deteminisme telah semakin mendapatkan makna statistika. Kita tidak lagi mengumumkan bahwa kondisi A secara mau tidak mau menghasilkan wajah kondisi (apperance) B, akan tetapi bahwa kemungkinan terjadinya B sebagai konsekuensi dari A adalah menurut hukum kemungkinan terjadinya B sebagai konsekuensi A adalah menurut hukum kemungkinan tertentu.

Dalam kebanyakan ilmu-ilmu fisika, derajat kemungkinan  berada dalam tingkatan demikian tinggi, kemungkinan hampir nol dan sebaliknya. Namun, dalam tingkatan atomik, keadaanya agak berbeda. Disini ada kemungkinan untuk realisasi beberapa hipotesa (B, C, D dan seterusnya) sebagai konsekuensi dari faktor A, dengan kemungkinan masing-masing dalam tingkatan yang cukup itnggi. Ilmu berusaha untuk menentukan dengan ketepatan kemungkinan relatif terjadinya masing-masing.

Dari sini titik tilik kita masa kini adalah kebalikan dari yang dipegang pada penutup abad kesembilanbelas. Pada mulanya, tujuannya adalah menempatkan ilmu-ilmu sosial pada dasar yang sama sebagaimana ilmu-ilmu fisika dengan membuat postulat tentang adanya deteminisme sosial yang analog dengan determinisme fisika yang dianggap absolut. Kini kita tidak lag menerima determinisme fisika sebagai sesuatu  yang absolut, akan tetapi sebagai sesuatu yang relatif, seperti determinisme statiska, sebuah konsep yang diciptakan oleh ilmu-ilmu sosial.

Perubahan ini menguntungkan pengembangan ilmu-ilmu sosial dengan menghapus keberatan-keberatan lama yang didasarkan pada masalah kebebasan manusia, kebebasan kehendak. Paham kebebasan kehendak secara diametral bertentangan dengan deteminisme tradisional. Kaum positivis abad yang lalu sampai kepada titik untuk mengingkari setiap kebebasan kehendak, yang dianggapnya sebagai khayalan semata dan ini dibuatnya demikian dengan maksud untuk menciptakan ilmu-ilmu sosial.

Determinisme statiska menentang paham kebebasan yang diberlakukan dan dibenarkan kembali oleh filsafat eksistensialisme dalam konteks lain. Ketika menyatakan tingkah laku kelompok dari segi probabilitas, determinisme statiska memperhitungkan kemungkinan adanya pilihan bebas dari individu-individu di dalam kelompok.

Batas-batas Sifat Ilmiah Sosiologi
Pertam, bidang dimana metode-metode ilmiah bisa dipakai kini sangat kecil. Mereka sangat penting di dalam disiplin-disiplin seperti ekonomi dan demografi, akan tetapi di tempat-tempat tertentu penggunaannya sangat terbatas. Mencoba untuk melukiskan kenyataan atau menemukan kebenaran-kebenaran operasional, sambil semata-semata mendasarkan diri seseoranga pada observasi ilmiah. Setiap analisa mendalam terhadap sesuatu kelompok sosial jauh lebih tergantung pada pendekatan-pendekatan dan hipotesa-hipotesa daripada fakta-fakta yang dibangun secara ilmiah.


Plastisita Fenomena-fenomena Sosial
Fakta-fakta sosial berbeda dari “benda-benda”, terlepas dari hukum Emile Durkheim. Benda-benda material bisa dibedakan agak gampang satu dari yang lainn. Bahkan kalau setiap benda terdiri dari atom, maka atom-atom bergabung menjadi benda-benda dengan bentuk-bentuk yang jelas-jelas bisa dirumuskan. Kita melihat benda-benda melalui pendidikan sebagai mana melalui kaca-kaca berwarna. Psikologi individual juga mempengaruhi tafsiran kita. Apa arti bentuk-bentuk ini bagi bagi setiap individu menjelaskan kepribadiannya. Namun benar bahwa kemungkinan-kemungkinan tafsiran pribadi  pada setiap individu dibatasi oleh fakta-fakta material yang mempengaruhi setiap orang.

Sebaliknya, fenomena sosial, jauh lebih amorf sifatnya, lebih plastik. Mereka menunjukan dirinya di dalam samaran suatu kontinum yang unsur-unsurnya yang berbeda sangat sulit dipisah-pisahkan. Seolah-olah tidak ada tepi laut yang membatasi tanah dan laut. Tentu saja ada pemisahan- pemisahan objektif diantara fenomena-fenomena sosial, akan tetapi jauh lebih kurang jelas.

Dalam ilmu-ilmu fisika kita berurusan dengan verifikasi-verifikasi yang benar, karena fakta fisikal keras, benda-benda kokoh yang menolak tekanan dari struktur-struktur konseptual. Di dalam ilmu sosial, pada pihak lain, fakta-fakta cenderung mengelompok disekitar conjectures dan hipotesa-hipotesa dalam tingkatan yang jauh lebih tinggi, untuk sesuai dengan bentuk-bentuk teori dan sistem, sebagaimana kita katakan di atas, dengan akibat bahwa kita selalu memperoleh, sekurang-kurangnya sebagian, jawaban yang dikehendaki.

Pentingnya Nilai-Nilai Sosial
Secara umum nilai-nilai adalah keyakinan relatif kepada yang baik dan jahat, yang benar dan yang salah, kepada apa yang seharusnyaada dan yang seharusnya tidak ada. Nilai-nilai memainkan peranan yang sangat penting di dalam kehidupan sosial. Kebanyakan hubungan-hubungan sosial didasarkan bukan saja pada fakta-fakta postif tetapi juga pada pertimbangan-pertimbangan nilai.

Bahkan suatu analisa nilai-nilai yang objektif menunjukkan distorsi pada tingkat tertentu. Sistem nilai umum suatu masyarakat tidaklah semata-mata tambahan matematik dari sistem yang berbeda di dalamnya. Suatu studi yang objektif tidak pernah berjalandi bawah permukaan sistem nilai, tidak pernah menembusi maknanya yang lebih dalam. Dia yang tidak pernah mengalami iman tidak bisa secara penuh memahami fenomena agama.

Di dalam ilmu-ilmu sosial, pada tingkat tertentu pengamat senantiasa merupakan sebagian dari kenyataan yang diamatinya. Bahkan ahli sosiologi yang paling netral, paling dingin tidak pernah sepenuhnya netrak dalam hubungannya dengan setiap masyarakat. Dalam konsep ilmu modern, yang didasarkan pada hasil-hasil operasional, pentingnya nilai-nilai sosial sedikitnya memberikan rintangan kepada penelitian ilmiah. Pola pendapat, studi-studi, motivasi, metode-metode psikoanalisa, dan ujicoba yang berhubungan dengan itu memberikan hasil-hasil yang baik dalam bidang ini.

Faktor Distorsi Pribadi Seorang Ahli Sosiologi
Sekarang pada satu pihak, setiap masalah manusia atas peri tertentu menyangkut orang yang mengamatinya dan sadar atau tidak sadar, terikat kepada suatu sistem nilai. Sampai kepada titik tertentu, dia bisa saja menganggap keputusan nilai dari orang lain sebagai fakta akan tetapi sikap semacam ini jauh lebih sulit untuk dipertahankan dalam hubungannya dengan keputusan nilai.
Di pihak lain, di dalam studi-studi fakta manusiawi ahli sosiologi mempunyai alat-alat lain selain observasi ilmiah – analisa pikirannya sendiri, kesadaran akan pikirannya sendiri dan introspeksinya. Dia tentu akan bosan dengan pengetahuan yang diperoleh atas peri ini karena tidak adanya ketepatan ilmiah.

Konsep PolitikKata politik sangat tua dan ada dalam kosakata setiap orang. Ia menembusi waktu dan karna seringnya dipakai menjadikannya sangat samar dan umum. Ada dua pertikaian arti sosiologi politik yaitu sosiologi politik sebagai ilmu tentang negara dan ilmu tentang kekuasaan.

Konsep Sosiologi Politik Sebagai Ilmu NegaraKonsep ini mempergunakan kata politik dalam konotasinya yang biasa yaitu berhubungan dengan negara. Negara disini mengartikan kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat. Praktisnya ada dua arti : Negara Bangsa (nation-state), menunjukkan masyarakat nasional yaitu komunitas yang muncul pada akhir zaman tengah dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh berintegrasi.

Mendefenisikan sosiologi politik sebagai ilmu negara adalah menempatkannya dalam klasifikasi dalam ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada hakikat dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari.

Konsep Sosiologi Politik Sebagai Ilmu tentang KekuasaanKonsep yang lebih modern menganggap bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat manusia, bukan saja di dalam masyarakat nasional. Sosiologi politik dengan demikian berbeda dengan demikian berbeda dari sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi kesenian, dan seterusnya.

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top