Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

ETIKA ADMINISTRASI NEGARA

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin¬dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu:

•     Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).

•     Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:


 Fungsi  etika:
  
Sebagai subjek : Untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakan itu salah atau benar, buruk atau baik.
Sebagai Objek : cara melakukan sesuatu (moral).
Menurut Martin (1993), “etika adalah tingkah laku sebagai standart yang mengatur pergaulan manusia dalam kelompok sosial”.
Dalam Kaitannya dengan pergaulan manusia maka etika berupa bentuk aturan yang dibuat berdasarkan moral yang ada.

tujuan etika

Untuk mendapatkan konsep mengenai penilaian baik buruk manusia sesuai dengan norma-norma yangberlaku.
Pengertian baik:
Segala perbuatan yang baik.
Pengertian buruk:
segala perbuatan yang tercela.


Macam-Macam etika
Ada dua jenis yaitu:
Etika deskriptif
Etika yang berbicara tentang suatu fakta
Yaitu tentang nilai dan pola perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat.
Etika yang menyoroti secara rasional dan kritis tentang apa yang diharapkan manusia mengenai sesuatu yang bernilai.
Etika normatif
Etika yang memberikan penilaian serta himbauan kepada manusia tentang bagaimana harus bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.
Etika yang mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari.

hubungan etika dengan moral

Moral berasal dari bahasa latin “mos” artinya adat istiadat.
Moral adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya dalam bermasyarakat.
Sebagai contoh: “Kepala Proyek Pengembangan TI di perusahaan ini tidak bermoral…..” -> melangar norma-norma etis yang berlaku dalam kelompok atau organisasi.

hubungan etika dengan filsafat

Filsafat adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai interpretasi tentang hidup manusia.
Etika merupakan bagian dari filsafat, yaitu filsafat moral.
Filsafat moral adalah cabang dari filsafat tentang tindakan manusia.
Kesimpulan :
suatu ilmu yang mempelajari perbuatan baik dan buruk manusia berdasarkan kehendak dalam mengambil keputusan yang mendasari hubungan antar sesama manusia.

Faktor-Faktor Tindakan Melanggar Etika

Kebutuhan Individu
Merupakan faktor utama penyebab terjadinya tindakan tidak etis karena tidak tercukupinya kebutuhan pribadi dalam kehidupan.
Tidak ada pedoman
Tidak punya penuntun hidup sehingga tidak tahu bagaimana melakukan sesuatu.
Perilaku dan kebiasaan Individu
Perilaku kebiasaan individu tanpa memperhatikan faktor lingkungan dimana individu tersebut berada.

KONFLIK SURIAH

Konflik kekerasan internal yang tengah berlangsung di Suriah ini di mulai pada bulan Maret 2011 ketika rakyat Suriah berdemonstrasi menginginkan perbaikan kesejahteraan, kebebasan sipil dan politik. Demonstrasi publik yang awalnya, berkembang menjadi pemberontakan nasional yang berlangsung rusuh antara kelompok anti pemerintah dengan kelompok pro pemerintah.

Pemerintah Suriah di bawah kepemimpinan Bashar Al Assad menangani pemberontakan ini dengan menyerang kelompok-kelompok yang anti pemerintah. Penyerangan ini mengakibatkan puluhan ribu orang tewas termasuk di dalamnya anak-anak dibawah 10 tahun turut menjadi korban  dan ribuan lagi terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga (BBC Indonesia, Juni 2013).
Krisis yang terjadi di Suriah ini sudah memasuki babak paling kritis, kerugian baik materil dan moril terus menerjang rakyatnya. Hancurnya rumah-rumah penduduk, fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur lain menambah lengkap penderitaan rakyat Suriah yang harus berjuang ditengah konflik yang sampai saat ini masih berlangsung. Namun, hal ini tidak membuat pihak yang terlibat konflik, baik dari pihak pemerintah maupun oposisi yang kontra dengan pemerintah, tidak terbuka matanya untuk segera menghentikan agresi perang ini yang terus dilakukan demi mencapai kepentingan pihak-pihak yang terkait.

Tentu saja perang ini menarik perhatian dunia, karna kasus di Suriah ini telah masuk ke dalam kasus yang paling mencolok saat ini yaitu mengenai pelanggaran HAM. Dimana seharusnya kasus Suriah ini telah memenuhi kriteria untuk diterapkannya intervensi kemanusiaan. Menanggapi hal ini, masyarakat internasional, khususnya PBB, tidak tinggal diam. Mereka memberikan respons tanggap terhadap konflik internal yang terjadi di Suriah. Tindakan Presiden Suriah Bashar al-Assad menyerang oposisinya dianggap sebagai kejahatan yang harus dihentikan. Dewan keamanan mengecam tindakan tersebut berulang kali dan menghimbau al-Assad untuk menghentikan serangan pada rakyat pro-demokrasi. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada pemerintah suriah, tidak berhasil merumuskan resolusi untuk konflik yang terjadi. Bahkan sejak tahun 2011 Rusia dan China yang memiliki kepentingan di Suriah pun, telah dua kali mengeluarkan hak Veto nya dalam sidang Dewan Keamanan PBB (DK PBB) sehingga berdampak pada penyelesaian konflik Suriah yang terhambat karena dibatalkannya resolusi tersebut dimana syarat diberlakukannya sebuah resolusi dari Dewan Keamanan PBB adalah dengan memperoleh kesepakatan sekurang-kurangnya sembilan anggota tidak tetap dan harus disepakati oleh seluruh anggota tetap (Cina, Inggris, Rusia, Prancis, dan Amerika Serikat). Hal ini tertera dalam Piagam PBB Pasal 27 ayat 3.

Tak terkecuali permasalahan yang terus berlarut-larut ini menuntut Amerika sebagai negara super power saat ini yang memiliki kapabilitas untuk melakukan intervensi di Suriah. Tulisan ini akan menganalisis  dari sudut realis bagaimana peran amerika dalam konflik di suriah, apakah akan melakukan intervensi atau tidak?, mengingat bahwa saat ini Amerika adalah negara yang memiliki pengaruh besar terhadap negara-negara di dunia.

Pandangan realis meyakini bahwa hubungan antar negara berada dalam anarki internasional yaitu sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan dan tidak adanya pemerintah dunia. Sehingga peran PBB dalam konflik di Suriah ini sebagai lembaga internasional, tidak dapat menetapkan sanksi dan penyelesaian yang tegas terhadap pemerintah Suriah yang telah melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyatnya.

Soepeno (1950: 161) mengatakan bahwa intervensi merupakan istilah dalam politik internasional yang berarti “ Ikut campur tangannya suatu negra dalam soal-soal negara lain”. Dalam Blcak’s Law Dictionary (1999: 826) intervensi diartikan sebagai turut campurnya sebuah negara dalam urusan dalam negeri negara lain atau dalam urusan negara lain dengan menggunakan kekuatan  atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh kemunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia  dalam sebuah negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara tersebut.

Party dan Grant memberikan defenisi yang sedikit berbeda yaitu intervensi ialah turut campur secara diktator oleh sebuah negara dalam hubungannya dengan negara lain dengan tujuab menjaga atau mengubah kondisi aktual tertentu (1986: 190-191). Turut campur tersebut dapat dilakukan dengan hak ataupun tidak, namun hal tersebut selalu mengenai kebebasan eksternal atau wilayah atau keunggulan negara lain, dan dari keseluruhan tersebut memiliki dampak yang penting untuk negara tersebut dalam posisi internsional.

Intervensi yang dilakukan oleh negara asing (khususnya negara besar) biasanya merupakan tindakan yang sangat dramatis karena diorganisasikan dengan amat baik. Hingga jika Amerika melakukan intervensi terhadap Suriah maka semua tindakan yang dilakukan akan mempunyai dampak tertentu secara langsung atau lambat laun pada politik dalam negeri Suriah, termasuk di dalamnya semua bentuk bujukan dan program diplomatik, ekonomi serta militer.

James Rosenau dama K.J (1988:9) mengemukakan defenisi dari intervensi yaitu bahwa intervensi dapat dibedakan dari bentuk-bentuk lain tindakan negara karena intervensi :

1.    Merupakan pemutusan tajam dari bentuk-bentuk intervensi konvensional dalam hubungan suatu negara.
2.    Dengan sadar diarahkan untuk mengubah atau mempertahankan struktur penguasa politik di negara sasaran.

Dengan demikian program-program bantuan asing walaupun mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi langsung atas penguasa politik dalam suatu masyarakat, tidak akan dianggap sebagai intervensi karena tidak merupakan suatu pemutusan radikal dari suatu hubungan yang konvensional. Realisme adalah salah satu cara pandang Amerika Serikat dalam pegambilan keputusan.

Realisme adalah sebuah pandangan politik internasional yang menekankan pada sisi kompetitif dan konflik (Wardhani 2013). Asumsi dasar dari realisme ini adalah pertama, perspektif realisme memandang manusia sebagai makhluk yang egois. Asumsi pertama ini menggambarkan adanya pandangan skeptis terhadap sifat manusia. Kedua, kaum realis meyakini bahwa pada dasarnya hubungan internasional bersifat konfliktual dan konflik internasional hanya dapat diselesaikan melalui perang. Ketiga, realisme menjunjung tinggi nilai – nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Keempat, adanya sikap skeptisme dasar mengenai pencapaian kemajuan dalam politik internasional akan selaras dengan kehidupan politik domestik (Jackson & Sorensen 2009: 88.

Aktor negara menjadi satu-satunya aktor dalam dunia internsional. Negara sebagai aktor utama dalam hubungan internsional memiliki tujuan untuk mencari kekuasaan karena demikianlah fitrah manusia. Sementara itu dalam dunia internasional terdapat hirarki karena kondisi negara-negara tidaklah sama secara geografis, SDA, tingkat teknologi dan sebagainya yang menyebabkan kondisi ini akan menentukan kekekuatan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.

Amerika yang disini sebagai negara yang memiliki kekuatan militer yang kuat, pengaruh terhadap negara-negara lain seharusnya dapat menggunakan kondisi alamiahnya tersebut untuk memperbesar kekuasaanya dan negara kecil yang berada di bawahnya dapat di kontrol dengan baik hingga kondisi keaman dan perdamaian akan tercipta.  Karena negara yang kuat akan mampu melakukan apapun dengan kekuatannya sehingga Amerika terus dibayangi dengan permasalahan yang terjadi di Suriah ini.

Menurut Machiavelli (2012: 24), tanggung jawab utama seorang pemimpinan adalah selalu mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya guna mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dunia adalah tempat yang sangat berbahaya, oleh karenanya seorang pemimpin harus kuat seperti singa dan cerdik seperti rubah untuk mampu membawa bangsanya pada kesejahteraan.

Realisme mengungkapkan bahwa Amerika Serikat seharusnya tidak ikut campur dalam konflik saudara tersebut. Karena hal tersebut akan mengulang kejadian masa lalu Amerika Serikat yang melakukan perlawanan terhadap Iraq dan Libya. Sementara perlawanan terhadap Iraq dan Libya yang pernah terjadi berujung pada kekalahan Amerika Serikat dan membuang – buang uang dan sumber daya Amerika Serikat. Sehingga dalam konflik Suriah ini lebih dari 50% rakyat Amerika sangat menolak intervensi di Suriah.

Jadi, dalam pengambilan keputusan, Amerika Serikat yang berprespektif realisme menekankan pada pentingnya mempertahankan power Amerika Serikat demi kesuksesan diplomasi (Mubah 2007). Oleh sebab itu Amerika Serikat harus berhati – hati dalam melakukan segala sesuatu. Selain itu, realisme menekankan bahwa seharusnya Amerika Serikat tidak melakukan perang yang membuang – buang uang dan sumber daya jika belum memahami lawannya sehingga menyebabkan kekalahan dan membuat power Amerika Serikat melemah.

JUMLAH KATA : 1180
Daftar Pustaka

Eka An Aqimuddin, 2012. Pengertian Intervensi dan Intervensi Kemanusiaan, http://portal-hi.ne/en/hi-teori/teori-teori-liberalisme/110-pengertian-intervensi-dan-intervensi-kemanusiaan  (diakses 13 Juni 2013)
IT, 2013. Warga Amerika Tolak Intervensi AS di Suria,  http://www.islamtimes.org/vdch-wni-23n--d.yrt2.html ( diakses 13 Juni 2013)
M.Saeri, 2012. Teori Hubungan Internsional Sebuah Pendekatan Pradikmatik. Junarl Transnasional, vol.3 No. 2
Mirfana, 2012. Penggunaan Hak Veto Oleh Rusia dan China Terhadap Kasus Suriah, http://mirfana.wordpress.com/2012/03/21/penggunaan-hak-veto-oleh-rusia-dan-cina-terhadap-kasus-suriah/ (diakses 13 Juni 2013)
Miftah, 2011. Pemikiran Realis. http://miftah19.wordpress.com/2011/01/06/pemikiran-realisme/ diakses 13 Juni 2013
Redaksi, 2012. Perang Kepentingan AS dan Israel di Perang Suriah , http://www.eramuslim.com/editorial/perang-kepentingan-as-dan-israel-di-perang-suriah.htm#.UbnkW-fwmo0  (diakses 13 Juni 2013)
Rahmawati Iva, 2012. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Aswaja Prasindo
Jill Steans & Lloyd Pettiford, 2009. Hubungan Internasional (Prespektif dan Tema), Yogyakarta : Pustaka Pelajar

ADMINISTRASI PEMBANGUNAN KUALITAS MANUSIA DAN KUALITAS MASYARAKAT

 A.  Pengertian Para Ahli Tentang Administrasi Pembangunan 
    - George F. gant,
Mengatakan administrasi pembangunan sebagai penyempurnaan birokrasi dalam penghadapi meningkatnya jumlah, jenis, dan konfleksitas fungsi-fungsi pemerintahan untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat dalam pembangunan.
 
         - Bintoro Tiokroamididjaja
        Mengtakan administrasi pembangunan adalah suatu administrasi bagi usaha pembangunan social ekonomi, secara sefesifik administrasi pembangunan mempunyai fungsi untuk merumuskan kebijakan dan program pembangunan.
 
-Mustopadidjaja AR,
         Mengatakan administrasi pembangunan adalah ilmu dan seni tentang bagai mana suatu system pembangunan administrasi Negara dilakukan sehingga dengan de4mikian system administrasi tersebut mampu menyelengarakan berbagai fungsi pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efesien.

-    Sondang P.Siagian,
           Mengatakan administrasi pembangunan adalah seluruh usaha yang di lakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki tata kehidupannya sebagai suatu bangsa dalam berbagai aspek kehidupan bangsa tersebut, dalam rangka usaha pencapaian tujuan yang telah di tentukan.
    Secara garis besar dapat di simpulkan  administrasi pembngunan adalah suatu usaha yang meliputi perbaikan aparatur serta pelaksanaan dari pada pemerintah.



B. Perbedaan Administrasi Pembangunan dan Administrasi Negara

    Administrasi Pembangunan :
-    Lebih terkait pada lingkungan yang berbeda-beda, khususnya Negara-negara yang sedang berkembang.
-    Maksimal pada pendekatan proses kebijakan.
-    Lebih menekan kan kepada change dan inopasi.
-    Lebih menekan kan kepada pelaksanan.
-    Lebih menekankan kepada perumusan kebijakan dan pelaksanaan nya.
-    Administrator sebagai change agents
-    Ecological approach yang berorientasi pada action dan proplem sol ving.

    Administrasi Negara
-    Lebih terkait dengan lingkungan masyarakat Negara- Negara maju.
-    Minimnya pendekatan terhadap perumusan kebijakan
-    Lebih, menekankan kepada pelaksanaan yang tertip,efesien dari unit kegiatan pemerintah.
-    Lebih menekan kan kepada tugas-tugas rutin dalam public service.
-    Lebih menekan kan kepada kerapian aparatur administrasi itu sendiri.
-    Administrator sebagai pelaksana.
-    Legalistic approach.


C. Permasalahan yang sering Terjadi dalam Administrasi Pembangunan

Kita sudah sering mendengar dari kalangan praktisi dan ilmuwan bahwa administrasi negara kita memiliki berbagai kelemahan birokrasi transisional, misalnya, inefisiensi, produktivitas rendah, kurang mampu melaksanakan tugas pembangunan dan sebagainya. Para ahli seperti Tjokrowinoto (1989), Effendi (1990), Evers (1988), Bintoro (1987), Mustopadidjaja (1988), Abdullah (1985), Brett (1988) dan Bryant dan White (1987) sudah sering mensinyalir bahwa salah satu hambatan yang besar dalam pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah sistem administrasi negara yang belum memiliki kemampuan yang cukup memadai buat melaksanakan berbagai tugas pembangunan yang semakin kompleks. Hambatan ini akan menjadi semakin nyata pada Tahap Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1993/94 – 2018/2019) karena, berbeda dengan Pembangunan Jangka Panjang Pertama, tujuan pembangunan nasional masa masa tersebut akan lebih menitik beratkan pada peningkatan kualitas manusia dan kualitas masyarakat sebagai upaya meningkatkan martabat manusia. Orientasi pembangunan yang telah berubah ini memerlukan sistem administrasi yang berbeda dari sistem yang ada sekarang ini. Sistem administrasi baru ini memerlukan struktur yang lebih organis-adaptif, deregulasi prosedur, lebih memiliki orientasi pelayanan publik serta lingkungan politiko birokratik yang mampu mengawasi kegiatan birokrasi (Brett, 1988 dan Effendi, 1990).

Pada kesempatan ini saya ingin melontarkan pemikiran-pemikiran awal mengenai sistem administrasi buat pembangunan nasional yang menekankan kualitas manusia dan kualitas masyarakat. Untuk itu kupasan akan saya sampaikan dalam tiga bagian. Pertama, bagaimana sistem administrasi yang diperlukan untuk pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Pembahasan akan dipusatkan pada kualitas manusia organisasi yang diperlukan buat sistem administrasi tersebut. Kedua, apa hambatan-hambatan sosio-kultural dan politiko-birokratis dalam pengembangan kualitas manusia organisasi tadi. Ketiga, apa upaya yang perlu dilaksanakan untuk menumbuhkan kualitas manusia organisasi yang banyak diperlukan di masa depan.

Birokrasi untuk Pembangunan Kualitas Manusia Max Weber, sosiolog Jerman yang merumuskan konsep biro-krasi untuk pertama kali, mempunyai pemikiran yang amat berbeda dari para sarjana yang dibicarakan di atas tentang hubungan antara birokrasi dan pembangunan ekonomi. Menurut Weber, birokratisasi adalah prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak mungkin dicapai ekonomi modern yang berkelanjutan, industrialisasi yang cepat dan “take-off into selfsustained growth” (Giddens, 1985:195).

Teori birokratisasi Weber tadi menimbulkan satu pertanyaan yang selalu mengusik di benak para sarjana administrasi pembangunan: “Apakah birokratisasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah sampai ke tingkat yang cukup tinggi sebagai prasarana pembangunan ekonomi?” Atau, sebaliknya, sudahkah birokratisasi yang terlalu berlebihan (overbureaucratization) justru telah menjadi beban yang menghambat kemajuan ekonomi negara ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibahas proses birokratisasi secara lebih mendalam agar kita dapat membandingkan tingkat birokratisasi di Indonesia dengan di beberapa negara di kawasan ini. Evers (1987) dalam analisisnya tentang birokratisasi Asia Tenggara membedakan tiga pola birokratisasi berikut:

a)      Pola pertama adalah birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat administrasi negara. Proses ini menjadi fokus dan dibahas secara luas dalam teori Weber dan oleh Evers dinamakan birokratisasi a la Weber atau Weberisasi atau (Bw).

b)      Pola kedua adalah proses birokratisasi dalam bentuk peningkatan jumlah pegawai negeri dan pembesaran organisasi pemerintah. Dalam literatur ilmu sosial sering disebut nama Parkinson, tokoh ilmu sosial dari Universitas Singapura menjadi terkenal karena “Parkinson’s Law” yang telah diciptakannya. Hukum Parkinson ini menyatakan:
  1. tiap pegawai negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya, dan
  2. tiap pegawai akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya. Karena itu laju birokratisasi akan meningkat dan jumlah pegawai negeri akan naik secara otomatis tidak administrasi baru ini memerlukan struktur yang lebih organis-adaptif, deregulasi prosedur, lebih memiliki orientasi pelayanan publik serta lingkungan politiko-birokratik yang mampu mengawasi kegiatan birokrasi (Brett, 1988 dan Effendi, 1990).

c)      Pola ketiga adalah birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial masyarakat dengan peraturan, regulasi, dan bila perlu pemaksaan. Proses ini di-sebut Evers birokratisasi Orwell atau Orwellisasi sesuai dengan gambaran masyarakat yang digambarkan oleh penulis George Orwell dalam novelnya yang berjudul “1984″.
Dengan ketiga pola ini kita dapat mengukur tingkat bi-rokratisasi di Indonesia serta membandingkannya dengan tingkat yang sama di beberapa negara Asia Tenggara. Evers, menggunakan pola Parkinson, mengukur tingkat birokratisasi tersebut dengan memakai rasio pegawai negeri dan penduduk sebagai tolak ukur. Dia menyimpulkan bahwa proses birokratisasi relatif berjalan dengan cepat di negara Asia Tenggara. Tingkat birokratisasi yang tertinggi adalah di Malaysia dengan 40 pegawai per 1000 pada tahun 1986 diikuti oleh Indonesia dengan 19 pegawai per 1000 penduduk dan Thailand dengan 10 pegawai per 1000 penduduk. Walau pun Indonesia mempunyai tingkat birokratisasi yang terendah tetapi pertumbuhannya adalah yang tercepat karena antara 1950 dan 1988 jumlah pegawai negeri telah meningkat sebanyak lebih dari sepuluh kali lipat, dari 303 ribu menjadi 3,4 juta. Evers menamakan pertumbuhan yang cepat ini “runaway bureaucratization”.

Menurutnya, proses ini dapat dibandingkan dengan inflasi mata uang. Bila peredaran mata uang ditambah terus maka nilainya akan merosot. Bila jumlah pegawai negeri ditambah terus se-cara cepat tanpa mengingat keseimbangannya dengan beban tugas pemerintahan, maka “nilai” pegawai negeri akan semakin menurun dan terjadilah inefisiensi. Dengan kata lain, inflasi pegawai negeri tadi akan menghambat tercapainya birokratisasi seperti yang diinginkan oleh Weber. Seperti sudah disinggung di atas, tesis utama teori birokratisasi Weber adalah sebagai berikut: birokrasi modern yang rasional diperlukan untuk ekonomi modern. Apa ciri-ciri birokrasi modern ini? Weber menggunakan konsep tipe ideal (idealtyp) untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut pemikiran Weber suatu birokrasi modern mempunyai ciri-ciri berikut:
1.    kegiatan birokrasi dilaksanakan secara teratur dengan batas-batas otoritas yang jelas,
2.    ada hirarki kewenangan,
3.    ada aturan yang jelas tentang perilaku, otoritas dan tanggung-jawab pegawai, dan
4.    pegawai diterima atas dasar merit bukan ikatan kekrabatan.

Salah satu ciri yang penting dari birokrasi rasional ala Weber ini adalah suatu sistem penggajian bagi pegawai sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas birokrasi tadi. Dalam hal ini, birokrasi Indonesia mempunyai pola yang agak “unik” menurut pola pemikiran Weber dan lebih mendekati pola imbalan dalam suatu birokrasi patrimonial yang lebih menyandarkan pada hubungan antar patron dan client atau yang secara populaer dikenal sebagai “bapakisme”. Selama sistem penggajian dan honor seperti ini seimbang dengan beban tugas maka dia dapat memacu produktivitas pegawai. Kalau tidak, sistem seperti diragukan kemampuannya untuk menghasilkan birokrasi yang berdayaguna dan berhasilguna seperti yang difikirkan oleh Weber.

Cara lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah untuk meningkatkan prestasi pegawai adalah dengan menaikkan gaji me-reka. Anggaran pemerintah untuk gaji pegawai memang mening-kat sebesar 48 persen selama PELITA IV, tetapi pendapatan riil pegawai negeri sebenarnya menurun sebesar 24 persen (BIES, Survey of Recent Development, 23:2, 1987). Gaji pega-wai negeri golongan I misalnya hanya mencapai 30 persen dari Kebutuhan Fisik Minimal keluarga dengan 2 anak (Effendi, dkk, 1989). Tingkat gaji pegawai yang rendah ini akhirnya telah menciptakan birokrasi tidak produktif dan tingkat efisiensi yang rendah. Dengan kata lain, sistem remunerasi yang dipakai oleh Indonesia telah menyimpang dari prinsip yang difikirkan oleh Weber, dan karenanya sistem tersebut tidak akan mampu menumbuhkan birokrasi yang rasional dan memiliki tingkat produktivitas dan efektivitas yang diperlukan untuk menopang pembangunan yang sedang meningkat.

Peranan birokrasi pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, Thailand dan Singapura da-pat dikatakan cukup besar. Bahkan ada sebagian penulis yang menganggap bahwa peranan birokrasi dalam kehidupan ekonomi dan dunia usaha Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Sistem birokrasi Indonesia ini dinamakan masyarakat politik birokratik (bureaucratic polity) oleh Jackson (1978), atau kapitalisme birokratik (bureaucratic capitalism) oleh Robison (1986) untuk menggambarkan suatu sistem ekonomi dan politik dimana kegiatan ekonomi yang utama dimiliki oleh pemerintah dan sangat dikendalikan oleh peraturan-peratutan pemerintah. Sistem seperti ini menggambarkan pola birokrasi Orwell dan seperti yang kita lihat keadaan ini amat mengham-bat proses pembangunan, terutama buat jangka panjang.

Untuk sementara masyarakat birokratis seperti ini memang mampu menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Studi yang diadakan oleh Muhaimin (1986), misalnya, menyimpulkan bahwa dari berbagai tolak ukur nampak bahwa Pemerintah Orde Baru telah mampu mencapai hasil-hasil yang cukup besar dalam memperkuat kehidupan bernegara. Antara 1969/70 dan 1985/86 pengeluaran pembangunan pemerintah telah meningkat hampir 80 kali sebelum menurun mencapai titik terendah pada tahun 1988/89. Seiring dengan itu telah terjadi peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar hampir 90 kali termasuk pe-ningkatan penerimaan pajak sebesar 67 kali lipat pada kurun waktu yang sama. Dalam pada itu volume APBN yang merupakan salah satu tolok ukur kegiatan pembangunan pemerintah juga telah mengalami pertumbuhan yang amat pesat seiring dengan bertambahnya proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan. Pada PELITA I, besarnya dana yang disediakan melalui APBN adalah Rp. 3.283,23 milyar, pada PELITA II meningkat menjadi Rp. 18.019,4 milyar, pada PELITA III meningkat lagi menjadi Rp. 66.393,7 milyar dan pada PELITA IV telah meningkat lagi menjadi Rp. 91.063 milyar.

Peningkatan APBN ini telah memperkuat daya beli dalam negeri sehingga ekonomi dapat tumbuh dengan pesat. Tetapi, seperti dugaan Weber, birokrasi patrimonial terbukti tidak mampu bertahan buat usaha pembangunan ekonomi jangka panjang. Kenyataan ini mulai nampak pada pertengahan PELITA IV. Gejolak-gejolak ekternal yang diakibatkan oleh resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menimbulkan penurunan permintaan terhadap minyak, bahan tambang serta komoditi pertanian yang menjadi andalan Indonesia dalam pencarian de-visa. Keadaan ini lebih diperburuk lagi oleh berbagai tindakan protektif yang diadakan oleh negara-negara maju untuk menghambat serangan ekspor dari negara berkembang. Keadaan ini membawa dampak langsung bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Sampai dengan pertengahan PELITA IV laju pertumbuhan ekonomi hanya mencapai sekitar 4 persen bila diukur dari Produk Domestik Bruto. Dengan demikian tingkat pertumbuhan riil kurang dari 2 persen karena tingkat pertum- buhan penduduk adalah 2,1 persen. Keadaan ini sedikit membaik pada tahun-tahun berikutnya karena ekonomi dunia lebih sehat keadaannya.

Kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah selama ini memang nampaknya mampu memperbaiki kinerja ekonomi nasional. Selain dapat mengurangi kerentanan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi internasional tindakan-tindakan tadi nampaknya telah dapat meningkatkan daya saing berbagai produk buatan Indonesia di pasar internasional. Lebih penting lagi tindakan deregulasi yang telah dilaksanakan secara sistematis oleh Pemerintah nampaknya telah menyebabkan perubahan struktur yang cukup besar pada ekonomi Indonesia. Menurut perkiraan staf Bank Dunia tindakan-tindakan debirokratisasi dan deregulasi dalam bidang ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara drastis peranan BBM sebagai sumber pendapatan dari ekspor dari hampir 81 persen pada 1981/82 menjadi 66.6 persen pada 1985/86 dan turun lagi menjadi 35.8 pada 1988/89. Akibatnya, terjadi juga penurunan pada kontribusi penghasilan dari BBM terhadap penghasilan total dari hampir 71 persen pada 1981/82 menjadi 57.5 persen pada 1985/86 dan hanya 41.3 persen pada 1988/89. Perubahan struktur ekonomi ini nampak juga dari perbandingan antara hasil ekspor Non-BBM terhadap impor non-BBM yang telah meningkat dari hanya 28.8 persen pada 1981/82 menjadi 55.4 pada 1985/86 dan meningkat menjadi 90.3 persen pada 1988/89. Namun, belum semua bidang kegiatan rupanya tersentuh oleh berbagai tindakan debirokratisasi dan deregulasi tadi. Misalnya, arus barang antar daerah masih terhalang oleh berbagai peraturan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan merugikan masyrakat banyak.

Sampai saat ini memang sebagian besar kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang ditempuh oleh Pemerintah masih dipusatkan pada upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tindakan deregulasi yang ditempuh adalah menyang-kut pemberian peluang yang lebih besar kepada swasta dalam memobilisasi dana masyarakat dan penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan memperlancar arus barang serta menyederhanakan sistem perizinan. Namun masih banyak aspek pengelolaan pembangunan yang belum disentuh dan karenanya memerlukan tindakan debirokra-tisasi dan deregulasi lebih lanjut. Misalnya, Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1994/95 – 2019/20) yang menekankan pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan juga memerlukan peninjauan yang kritis terhadap bentuk serta peranan birokrasi pemerintah.

Agar dapat melaksanakan pembangunan kualitas manusia yang mencakup dimensi-dimensi kapasitas (capacity), pemera-taan (equity), pemberian kewenangan dan kekuasaan kepada masyarakat (empowerment), keberlanjutan (sustainability) dan kesadaran akan saling-ketergantungan (interdependency), diperlukan pemberian kesempatan yang lebih besar kepada partisipasi masyarakat melalui LSM mau pun lembaga perwakilan rakyat. Dengan kata lain diperlukan peninjauan kembali tentang peranan birokrasi dalam usaha pembangunan nasional. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama Repelita III dan IV dan di masa-masa yang akan datang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi semata-mata tidak lagi memadai untuk meningkatkan taraf kemakmuran kita serta untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Kapasitas administrasi negara untuk melaksanakan pembangunan relatif masih rendah dan belum mampu memecahkan masalah-masalah nasional yang besar seperti pemerataan hasil pembangunan, peningkatan produktivitas nasional, penyediaan kesempatan kerja dan penyelenggaraan pelayanan publik. Masalah-masalah tersebut tidak mungkin dapat dipecahkan melalui upaya pembangunan yang unidimensional atau sektoral seperti yang kita ikuti selama ini dengan semata-mata mengandalkan kemampuan administrasi negara. Untuk mengatasi masalah-masalah nasional tadi kualitas manusia dan masyarakat perlu ditingkatkan agar potensi penduduk dapat diarahkan pada upaya pembangunan nasional.

Dalam kerangka pemikiran ini lah, pembangunan kualitas manusia mendapatkan penekanan pada GBHN 1988. Sekarang semakin disadari oleh Pemerintah mau pun oleh para ilmuwan bahwa pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia Indonesia, baru dapat dilaksanakan secara berhasil bila upaya pembangunan tersebut dapat meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia sebagai sumberdaya pembangunan. Untuk melaksanakan pembangunan seperti itu diperlukan suatu sistem administrasi yang baru yang lebih berkemampuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat.

Konsep pembangunan kualitas manusia sebenarnya cukup sederhana, yakni suatu upaya yang terencana untuk mening-katkan kapasitas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa depannya. Kapasitas ini mencakup 5 aspek yakni: kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat, keberlanjutan (sustainable), dan kesadaran akan interdependensi antar manusia, antar manusia dan lingkungannya, dan antar negara. Bila di difinisikan seperti ini, pembangunan kualitas manusia pada dasarnya adalah upaya untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas penduduk sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dalam rangka mencapai kesejahteraan material dan spiritual. Dalam konteks Indonesia, konsep pembangunan kualitas manusia ini perlu diperkaya dengan dimensi-dimensi yang khas buat bangsa kita yakni, ketaatan pada prinsip-prinsip moral dan agama, kesetiakawanan sosial dalam hubungan antar manusia, pengembangan rasionalitas, dan kemampuan menegakkan keman-dirian (Salim, 1990:12).

Pergeseran titik berat pembangunan dari Trilogi yang lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi yang cepat, ke yang menekankan pemerataan, dan ke pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat pada Pelita-Pelita yang akan datang, membawa implikasi pada sistem administrasi yang digunakan buat mencapai tujuan yang berbeda ini. Untuk melaksanakan pembangunan sumberdaya manusia sebagai upaya untuk meningkatkan martabat mereka diperlukan suatu rona birokrasi yang tidak sama dengan yang kita miliki sekarang ini. Beberapa penulis, misalnya Riggs (1976) dan Brett (1988), meramalkan bahwa sistem administrasi Indonesia sekarang ini memiliki struktur organisasi, prosedur kerja, orientasi petugas, serta lingkungan birokrasi yang lebih mendekati gambaran suatu masyarakat birokrasi politik a la Jackson (1978) atau kapitalisme birokratik a la Robison (1986).

Seperti administrasi pemerintahan di NTB lainnya, administrasi negara Indonesia menduduki tempat yang masih sentral walau pun dengan kadar yang sedang menuju perubahan. Dimensi pembangunan yang semakin luas dan kompleks telah menimbulkan perubahan yang drastis pada fungsi pemerintahan di negara-negara tersebut. Perubahan-perubahan yang cepat di tingkat global dan nasional serta tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang bertambah baik adalah faktor pendorong yang amat kuat bagi perubahan-perubahan pada sistem administrasi agar sistem tersebut lebih mampu untuk mendukung pembangunan yang bertambah kompleks tadi. Seperti sudah disinggung di atas, pembangunan kualitas manusia itu sebenarnya mencakup lima dimensi yakni kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada rakyat, kesadaran yang lebih tinggi ten-tang interdependensi antar manusia dan lingkungannya mau pun hubungan antar daerah dan antar bangsa, dan juga penekanan pada azas keberlanjutan (sustainability).

Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem administrasi baru yang lebih cocok untuk pembangunan kualitas manusia, yakni sistem administrasi yang memiliki struktur yang lebih terbuka atau organis adaptif (Bennis, 1969, dan Saxena, 1985), prosedur yang lebih sederhana dan cepat, petugas yang berorientasi fasilitator dan memiliki budaya pelayan publik serta lingkungan politik-birokratis yang mampu menciptakan “pengawasan” yang fungsional dan effektif terhadap birokrasi pemerintah. Meningkatkan Kualitas Manusia dalam Birokrasi Pembangunan Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pemerintah, khususnya sistem administrasinya, pada akhirnya merupakan salah satu faktor penentu yang utama yang akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan kualitas manusia. Para kritikus birokrasi pada umumnya masih sepakat bahwa peranan birokrasi dalam pembangunan nasional tidak mungkin dapat digantikan sepenuhnya oleh lembaga swasta (Mathur, 1986:9). Namun, di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sistem administrasi pembangunan menghadapi banayak hambatan yang amat mempengaruhi kemampuan sistem tersebut buat melaksanakan pembangunan kualitas manusia secara baik dan dengan amat memperhatikan martabat manusia.

D. Hambatan-Hambatan Proses Administrasi Pembangunan

Secara garis besar hambatan-hambatan pada birokrasi pembangunan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

-Hambatan proses dan hambatan orientasi. Hambatan proses mencakup baik aspek struktur dan prosedur. Hingga kini struktur organisasi modern tetap dipandang sebagai model birokrasi yang tepat buat melaksanakan pembangunan. Oleh para ahli sering kekurang berhasilan yang terjadi di banyak negeri dihubungkan dengan bentuk birokrasi ini. Tetapi, yang menyebabkan model tersebut kurang berhasil bukanlah bentuknya itu tetapi adalah karena adanya nilai-nilai dan struktur organisasi yang tradisional yang menyebabkan tumbuhnya distorsi bentuk organisasi modern menjadi sistem yang patrimonial. Pada sistem ini prinsip-prinsip nepotisme dan partikularistik berlaku. Kalau pada sistem ekonomi kita mengenal adanya dualisme antara ekonomi tradisional agraris dan ekonomi modern industrial, maka dalam sistem administrasi kita dikenal adanya dualisme antara sistem administrasi tradisional yang menekankan ritualisme administratif yang tidak efisien dan sistem administrasi modern yang menekankan rasionalisme administratif yang efisien (Riggs, 1957:59). Dualisme administratif ini yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan budaya pelayan publik dalam birokrasi kita merupakan salah satu sebab kekurang mampuan administrasi pembangunan Indonesia.
Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hirarkis dan legalistis, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar yang amat diperlukan dalam penyelenggaraan program pembangunan memnjadi terhambat, dan dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih parah adalah prosedur yang mencekik ini ditumpangi lagi oleh kepentingan pribadi dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi mau pun kelompok. Peranan birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam pengelolaan program pembangunan selama 25 tahun ini telah menimbulkan mental penguasa yang amat kuat di kalangan pejabat birokrasi dan ini menjadi penghambat yang cukup besar dalam upaya penciptakan aparatur pemerintahan yang terbuka dan mampu menggalang partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam birokrasi seperti itu prestasi seorang pejabat bawahan akan diukur dari kemampuannya mencapai target-target yang telah ditentukan dan oleh “kepuasan” atasan terhadap prestasi bawahan tadi. Karena itu sifat yang paling menonjol adalah semangat untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan serta kurang mementingkan perubahan dan kemajuan yang identik dengan pembangunan. Dengan kata lain, tumbuhlah dengan subur etos kerja status quo yang mendorong para pejabat untuk lebih mempertahankan keharmonisan dalam segala hal.

Perubahan-perubahan pada birokrasi pemerintah itu sen-diri sebenarnya tidak akan terjadi terlepas dari kondisi lingkungannya. Karena itu dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini diperlukan suatu persyaratan mutlak yakni kemungkinan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kapasitasnya (Bryant dan White, Ibid; dan Korten dan Klaus, Ibid). Partisipasi masyarakat ini akan memungkinkan mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pembangunan. Partisipasi ini juga akan memungkinkan masuknya informasi yang lebih banyak dari lapangan yang berguna bagi penentuan strategi pembangunan yang lebih tepat. Dukungan masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaan program pembangunan pun akan dapat digerakkan dengan parptisipasi. Disamping itu partisipasi masyarakat dalam pengawasan akan memungkinkan pengawasan yang lebih effektif. Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat birokrasi pemerintah yang stabil mekanistis tidak mungkin dihilangkan secara keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis adaptif (Saxena, Ibid; dan Bennis, 1969), yaitu organisasi yang selalu tumbuh dan menyesuaikan diri dengan tujuan yang hendak dicapai dan dengan dinamika lingkungannya, yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta yang mampu melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organis-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang lebih longgar dan terbuka terhadap pengaruh positif dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan menjadi lebih lebar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk keterlibatan dari bawah (bottom-up) mau pun dari atas (top-down).

Selain struktur organisasi yang organis-adaptif, dalam pengembangan partisipasi ini perlu diadakan distribusi kekuasaan dan sumberdaya. Dengan kata lain, suatu peringkat desentralisasi yang memadai adalah prasyarat lain yang diperlukan buat pelaksanaan pembangunan kualitas manusia agarberhasil. Dalam hal ini ada perbedaan yang jelas antara pem-bangunan dan nation-building. Dalam nation-building memang diperlukan sentralisasi kekuasaan. Bagi Indonesia, tahap ini sudah dapat kita lewati dengan berhasil. Dalam tahap pembangunan untuk meningkatkan kualitas manusia dan kualitas masyarakat, sentralisasi yang berlebih-lebihan ini harus segera ditinggalkan untuk diganti dengan desentralisasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan.

Untuk melaksanakan pembangunan seperti ini diperlukan desentralisasi sebanyak mungkin urusan kepada daerah. Hanya daerah yang tahu secara lebih baik aspirasi daerah serta dapat menilai apa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang mereka miliki serta untuk apa kekayaan tersebut akan digunakan. Karena itu hambatan paling besar dalam pelaksanaan kebijaksanaan semacam itu adalah sentralisasi yang amat besar dalam sistem administrasi kita.

- Hambatan  karena kelemahan yang terkandung dalam sistem politik kita yang kurang mampu mengembangkan pengawasan oleh DPR dan DPRD. Salah satu sebab utama kekurang berhasilan pembangunan di negara sosialis dan Dunia Ketiga menurut kajian yang diadakan oleh Institute of Devel-opment Studies, Universitas Sussex, adalah karena lemahnya sistem pengawasan demokratis di negara-negara ini. Sampai saat ini DPR dan DPRD, dengan berbagai cara, masih diperlakukan sebagai kepanjangan dari lembaga eksekutif. Karena itu tidak ada kekuatan politik yang berarti yang mengontrol lem-baga eksekutif. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik, karena amat sukar membedakan antara birokrasi dengan Golkar sebagai kekuatan politik yang sedang berkuasa, telah memper-buruk keadaan ini dan telah amat melemahkan efektivitas pengawasan terhadap lembaga eksekutif. Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Organisasi

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kemampuan administrasi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan martabat manusia tidak mungkin dapat ditingkatkan tanpa peningkatan kualitas manusia dalam birokrasi pembangunan itu sendiri. Kualitas yang diperlukan oleh petugas birokrasi pembangunan itu antara lain mencakup ketaatan pada prinsip-prinsip moral dan agama yang tinggi, rasa kesetiaka-wanan sosial dalam hubungan sebagai pejabat dan masyarakat, rasionalitas sebagai pejabat yang merupakan individu organisasi dan institusi yang lebih mementingkan tujuan organisasi daripada tujuan individu serta tingkat kemandirian yang juga tinggi. Karena itu perlu didukung upaya yang sedang dirintis oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk meningkatkan kualitas aparat dalam birokrasi seperti yang dilontarkan beberapa waktu yang lalu pada Seminar Nasional Pembangunan Kualitas Manusia dalam Era Tinggal Landas di Universitas Widya Mataram, Yogyakarta (Kusumaatmadja, 1990).

Ada beberapa pilihan upaya yang dapat ditempuh oleh para perumus kebijaksanaan kita, khususnya dalam bidang pem-bangunan administrasi. Semua upaya ini dilandasi oleh suatu asumsi bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini organisasi modern adalah satu-satunya wadah implementasi yang tersedia sampai saat ini. Dalam upaya untuk menghasilkan organisasi yang memiliki effisiensi dan otonomi yang diperlukan buat melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan martabat manusia, disadari bahwa hirarhi yang terlalu panjang dan compartmentalized akana menghasilkan ke-kakuan dan subordinasi yang berlebihan. Karena itu inti dari upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dalam birokrasi pembangunan meliputi upaya meningkatkan produktivitas mereka melalui sistem insentif, baik finansial dan non-finansial, yang lebih baik, serta merubah tata nilai serta lingkungan birokrasi melalui:

1.    Pelatihan Tehnis dan Moral
Sudah disinggung di atas bahwa birokrasi kita belum di- landasi oleh budaya pelayanan publik serta ra-sionalitas organisasi yang memadai. Karena itu program pelatihan yang tepat untuk menanamkan budaya tersebut serta rasionalitas sebagai manusia organisasi dan manusia institusi haruslah mendapatkan penekanan dalam upaya reformasi administrasi di Indonesia. Program pelatihan yang baik dan tepat tidak akan dapat digantikan oleh upaya restrukturisasi bentuk organi-sasi yang telah ditempuh selama ini.

2.    Desentralisasi dan Reintegrasi
Pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat amat memerlukan desentralisasi kewenangan kepada daerah dan kepada masyarakat. Hanya daerah yang tahu dengan lebih baik potensi yang dimilikinya serta bagaimana menggunakan potensi tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Hamba-tan-hambatan antar kantor dan dinas di pusat dan di daerah perlu dikurangi dengan mengadakan reintegrasi tugas-tugas oleh berbagai kantor tadi. Pembicaraan mengenai reintegrasi ini sudah pernah dilontarkan oleh Menteri Rudini beberapa waktu yang lalu sehubungan dengan pengaturan kembali tugas Kkantor-kantor perwakilan Departemen di daerah atau oleh Menteri Sarwono sehubungan dengan perampingan birokrasi.

3.    Demokratisasi
Studi-studi yang diadakan oleh para sarjana adminis-trasi semakin menunjukkan bahwa kinerja sistem administrasi yang kurang memuaskan di negara selalu lebih menonjol di negara yang tidak demokratis. Dengan kata lain, tanpa pe-ngawasan politik yang effektif birokrasi pembangunan cende-rung untuk kurang berprestasi. Karena itu, sejalan dengan u-paya reformasi administrasi, harus diadakan transformasi politik untuk menciptakan pengawasan demokratis yang efektif terhadap birokrasi. Transformasi ini harus lebih luas dari transformasi yang kita kenal selama ini yang bertujuan untuk memperbaiki accountability dan partisipasi. Yang diperlukan adalah pemberian keleluasaan kepada masyarakat untuk mengem-bangkan basis-basi organisasi sosial yang bebas dalam suatu masyarakat sipil (civil society).

PERAN KOMUNIKASI DALAM PROSES PENGAWASAN

Mengembangkan Komunikasi Pengawasan yang Efektif                                              

Pengawas dituntut memiliki kompetensi sosial, khususnya dalam menjalin mitra dengan para stakeholder lainnya. Hal ini karena dalam bekerja pengawas bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang, kondisi, kepentingan serta persoalan yang dihadapi. Mereka juga harus mampu bermitra baik dengan individu maupun kelompok, selain itu pengawas juga berperan untuk mengembangkan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak yang terkait dengan peningkatan mutu, dan mengembangkan tim kerjasama yang kokoh. Oleh sebab itu pengawas dituntut agar dapat berkomunikasi secara efektif dengan semua pihak terutama pihak yang diawasi . Kedudukan dan Fungsi Komunikasi Organisasi tidak akan efektif apabila interaksi diantara orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tidak pernah ada komunikasi. Komunikasi menjadi sangat penting karena merupakan aktivitas tempat pimpinan mencurahkan waktunya untuk menginformasikan sesuatu dengan cara tertentu kepada seseorang atau kelompok orang. Dengan Komunikasi, maka fungsi manajerial yang berawal dari fungsi perencanaan, implementasi dan pengawasan dapat dicapai


Pengawas harus mampu membangun komunikasi efektif. Membangun Komunikasi Efektif Komunikasi efektif bagi pimpinan merupakan keterampilan penting karena perencanaan, pengorganisasian, dan fungsi pengendalian dapat berjalan hanya melalui aktivitas komunikasi. Dalam beberapa situasi di dalam organisasi, kadangkala muncul sebuah pernyataan di antara anggota organisasi, apa yang kita dapat adalah kegagalan komunikasi. Pernyataan tersebut mempunyai arti bagi masing-masing anggota organisasi, dan menjelaskan bahwa yang menjadi masalah dasar adalah komunikasi, karena kemacetan atau kegagalan komunikasi dapat terjadi antar pribadi, antar pribadi dalam kelompok, atau antar kelompok dalam organisasi. Komunikasi bagi pimpinan merupakan aspek pekerjaan yang penting sebagai bagian dari fungsi organisasi. Masalah bisa berkembang serius manakala pengarahan menjadi salah dimengerti; gurauan yang membangun dalam kelompok kerja malah menyulut kemarahan; atau pembicaraan informal oleh pimpinan terjadi distorsi (penyimpangan). Dengan kata lain bahwa masalah komunikasi dalam organisasi adalah apakah anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan baik atau tidak? Komunikasi merupakan keterampilan dasar seorang pengawas, dan merupakan elemen penting dalam pelayanan, karena menyangkut kompetensi pengawas sebagai orang yang melayani kepentingan dan kebutuhan, utamanya, Keterampilan dasar berkomunikasi bagi seorang pengawas adalah:

a.       Mampu saling memahami kelebihan dan kekurangan individu

b.      Mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan

c.       Mampu saling menerima, menolong, dan mendukung

d.      Mampu mengatasi konflik yang terjadi dalam komunikasi

e.       Saling menghargai dan menghormati

Mengembangkan keterampilan berkomunikasi bagi pengawas dapat dilakukan dengan memperhatikan:

1.      Manfaat dan pentingnya komunikasi

2.      Penguasaan perilaku individu

3.      Komponen-komponen komunikasi, Praktek keterampilan berkomunikasi

4.      Latihan yang terus-menerus

5.      Partner berlatih

Untuk meningkatkan kemampuan adaptif berkomunikasi Seorang pengawas perlu membangun jaringan komunikasi yang sehat, baik dengan Analisis jaringan komunikasi dapat dilakukan untuk mengetahui: Peranan individu (karyawan) dalam penyaluran informasi organisasi, yang sekaligus juga menunjukkan pola interaksi antara individu tersebut dengan individu lain, Bentuk hubungan atau koneksi orang-orang dalam organisasi dan kelompok tertentu (klik) Keterbukaan/ketertutupan individu atau kelompok.

Peranan seorang pengawas dalam suatu jaringan komunikasi menurut pendapat (Thoha, 1990,167) adalah :

1.      Opinion leader, individu yang diakui menguasai informasi (kuantitas dan kualitas) dan dengan informasi tersebut mampu mempengaruhi perilaku dan keputusan-keputusan yang diambil oleh individu, kelompok, atau organisasi. Opinion leader tidak selalu memiliki otoritas formal, bahkan pada umumnya merupakan pimpinan informal.

2.      Gate keepers, individu yang mengontrol arus informasi di antara anggota organisasi. Individu yang menentukan apakah suatu informasi itu penting atau tidak untuk diteruskan/diberikan kepada pimpinan atau pegawai organisasi.

3.      Cosmopolites, individu yang menghubungkan organisasi dengan lingkungannya. Mengumpulkan informasi dari berbagai sumber di lingkungan dan menyampaikan informasi organisasi kepada lingkungan.

4.      Bridge, anggota kelompok atau klik dalam suatu organisasi yang menghubungkan kelompok itu dengan kelompok lain.

5.      Liaison, individu penghubung antar kelompok, dan bukan sebagai anggota salah satu kelompok tersebut.

6.      Isolate, anggota organisasi yang mempunyai kontak minimal dengan orang lain dalam organisasi.

Posisi atau peranan pengawas dalam jaringan arus informasi akan mempengaruhi, antara lain:

a.       Tingkat kekuasaan (power), hubungan sosial, atau pengaruh individual dalam organisasi.

b.      Partisipasi dalam pelaksanaan tugas (intensitas dan kuantitas kegiatan organisasi, yang dapat berimbas pada peningkatan keterampilan/keahlian).

c.       Kepuasan terhadap arus informasi.

d.      Konsep diri. Keterampilan dan sikap dalam berkomunikasi akan sangat menentukan bagaimana pengembangan kualitas.

Terutama dalam membentuk jaringan kemitraan dengan share/stake holder. Jaringan kemitraan yang kuat dan saling menguntungkan yang dilayani oleh anggota tim kerjasama yang saling melayani, sudah pasti akan memperlancar pengembangan kualitas. Pengawas yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan memadai dapat menyelesaikan berbagai masalah di lapangan

DAFTAR PUSTAKA

http://www.sumbarprov.go.id/detail_artikel.php?id=102

http://pyia.wordpress.com/2010/01/03/tugas-teori-organisasi-umum/

Stoner, James A.F., 1996, Manajemen, Erlangga, Jakarta


KOMUNIKASI DAN MANAJEMEN

Komunikasi dalam Manajemen

Komunikasi ada di mana-mana, di rumah, dikampus, di Mesjid, di Kantor dan sebagainya. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan kita. Sebuah penelitian (Applboum, 1974 : 63) menyebutkan bahwa tiga perempat (70%) waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi – membaca, menulis dan mendengar an (We spend an estimated three-fourths of our waking hours in some form of communications-reading, writing, speaking and listening) Komunikasi menentukan kualitas hidup kita. Komunikasi memiliki hubungan yang erat sekali dengan kepemimpinan, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada kepemimpinan tanpa komunikasi.



Apalagi syarat seorang pemimpin selain ia harus berilmu, berwawasan kedepan, ikhlas, tekun, berani, jujur, sehat jasmani dan rohani, ia juga harus memiliki kemampuan berkomunikasi, sehingga Rogers (1969:180) mengatakan “Leadership is Communication. Kemampuan berkomunikasi akan menentukan berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Setiap pemimpin (leader) memiliki pengikut (flower) guna meralisir gagasannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Disinilah pentingnya kemampuan berkomunikasi bagi seorang pemimpin, khususnya dalam usaha untuk mempengaruhi prilaku orang lain.

Inilah hakekatnya dari suatu manajemen dalam organisasi. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasisan, pengarahan dan pengawasan dengan memberdayakan anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Handoko, 2003: 8). Menajemen sering juga didefinisikan sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Para manejer mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang lain untuk melaksanakan tugas apa saja yang mungkin diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Stoner, 1996 : 7)

Manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi, karena tanpa manajemen, semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit. Paling kurang ada tiga alasan utama mengapa manajemen itu dibutuhkan.

Pertama : Untuk mencapai tujuan. Manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan suatu organisasi dan pribadi;

kedua : Untuk menjaga keseimbangan diantara tujuan-tujuan, sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari pihak yang berkepentingan dalam organisasi, seperti pemilik dan karyawan, maupun kreditur, pelanggan, konsumen, supplier, serikat kerja, assosiasi perdagangan, masyarakat dan pemerintah.

Ketiga : Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Suatu kerja organisasi dapat diukur dengan banyak cara yang berbeda. Salah satu cara yang umum adalah efisiensi dan efektivitas.

Komunikasi Dalam Organisasi

Komunikasi dalam organisasi adalah : Komunikasi di suatu organisasi yang dilakukan pimpinan, baik dengan para karyawan maupun dengan khalayak yang ada kaitannya dengan organisasi, dalam rangka pembinaan kerja sama yang serasi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi (Effendy,1989: 214). Manajemen sering mempunyai masalah tidak efektifnya komunikasi. Padahal komunikasi yang efektif sangat penting bagi para manajer, paling tidak ada dua alasan, pertama, komunikasi adalah proses melalui mana fungsi-fungsi manajemen mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dapat dicapai; kedua, komunikasi adalah kegiatan dimana para manejer mencurahkan sebagian besar proporsi waktu mereka. Proses Komunikasi memungkinkan manejer untuk melaksanakan tugas-tugas mereka. Informasi harus dikomunikasikan kepada stafnya agar mereka mempunyai dasar perencanaan, agar rencana-rencana itu dapat dilaksanakan. Pengorganisasian memerlukan komunikasi dengan bawahan tentang penugasan mereka. Pengarahan mengharuskan manejer untuk berkomunikasi dengan bawahannya agar tujuan kelompo dapat tercapai. Jadi seorang manejer akan dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajemen melalui interaksi dan komunikasi dengan pihak lain. Sebahagian besar waktu seorang manejer dihabiskan untuk kegiatan komunikasi, baik tatap muka atau melalui media seperti Telephone, Hand Phone dengan bawahan, staf, langganan dsb. Manejer melakukakan komunikasi tertulis seperti pembuatan memo, surat dan laporan-laporan.

Model Komunikasi dalam Organisasi

Model komunikasi yang paling sederhana adalah adanya pengirim, berita (pesan) dan penerima seperti gambar berikut ini : Model ini menunjukkan 3 unsur esensi komunikasi. Bila salah satu unsur hilang, komunikasi tidak dapat berlangsung. Sebagai contoh seorang dapat mengirimkan pesan, tetapi bila tidak ada yang menerima atau yang mendengar, komunikasi tidak akan terjadi. Model komunikasi yang terperinci, dengan unsur-unsur penting dalam suatu organisasi yaitu :

1.      Sumber mempunyai gagasan, pemikiran atau kesan yang

2.      Diterjemahkan atau disandikan ke dalam kata-kata dan symbol-simbol, kemudian

3.      Disampaikan atau dikirimkan sebagai pesan kepada penerima

4.      Penerima menangkap symbol-simbol

5.      Diterjemahkan kembali atau diartikan kembali menjadi suatu gagasan dan

6.      mengirimkan berbagai bentuk umpan balik kepada pengirim.

Sumber (source) atau pengirim mengendalikan berbagai pesan yang dikirim, susunan yang digunakan, dan saluran mana yang akan digunakan untuk mengirim pesan tersebut. Mengubah pesan ke dalam berbagai bentuk simbol-simbol verbal atau nonverbal yang mampu memindahkan pengertian, seperti kata-kata percakapan atau tulisan, angka, berakan dsb.

Langkah ketiga sumber mengirimkan pesan melalui berbagai saluran komunikasi lisan. Manfaat komunikasi lisan, antar pribadi adalah kesempatan untuk berinteraksi antara sumber dan penerima, memungkinkan komunikasi nonverbal (gerakan tubuh, intonasi suara, dll) disampaikannya pesan secara tepat, dan memungkinkan umpan bali diproleh.

Sedangkan komunikasi terulis dapat disampaikan melalui media seperti :memo, surat, laporan, catatan, bulletin, surat kabar dsb. Komunikasi tulisan mempunyai kelebihan dalam penyediaan laporan atau dokumen untuk kepenting masa mendatang.

Langkah keempat adalah penerimaan pesan oleh pihak penerima. Pada umumnya penerima menerima pesan melalu panca indera mereka.. banyak pesan penting yang tidak diterima oleh seseorang karena mereka tidak menerima pesan karena kesalahan dalam mememilih media yang tepat.

Langkah kelima adalah decoding. Hal ini menyangkut memahami symbol-simbol yang dipergunakan oleh pengirim (sumber). Ini amat dipengaruhi oleh latar belakang, kebudayaan, pendidikan, lingkungan, praduga dan gangguan disekitarnya. Dalam komunikasi dua arah antara pimpinan dan stafnya (atasan dan bawahan) kemampuan pimpinan dalam berkomunikasi menjadi factor penentu berhasil tidaknya orang lain memahami ide, gagasan yang ia sampaikan.

Langkah terakhir adalah umpan balik. Setelah pesan diterima dan diterjemahkan, penerima memberikan respon, jadi komunikasi adalah proses yang berkesinambungan dan tak pernah berakhir. Inilah yang disebut bahwa komunikasi yang efektif.

PENGAWASAN SECARA MANAJEMEN

Pengertian Pengawasan

Pengawasan bisa didefinisikan sebagai suatu usaha sistematis oleh manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar, rencana, atau tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja sejalan dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan yang diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan.

George R. Tery (2006:395) mengartikan pengawasan sebagai mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tidankan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Robbin (dalam Sugandha, 1999 : 150) menyatakan pengawasan itu merupakan suatu proses aktivitas yang sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer untuk menjalankan tugas dan pekerjaan organisasi.

Kertonegoro (1998 : 163) menyatakan pengawasan itu adalah proses melaui manajer berusaha memperoleh kayakinan bahwa kegiatan yang dilakukan sesuai dengan perencanaannya.

Terry (dalam Sujamto, 1986 : 17) menyatakan Pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana.

Dale (dalam Winardi, 2000:224) dikatakan bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan.

Admosudirdjo (dalam Febriani, 2005:11) mengatakan bahwa pada pokoknya pengawasan adalah keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma, standar atau rencana-rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Siagian (1990:107) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Kesimpulannya, pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan,merancang system informasi umpan balik,membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya,menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan.

Tahap-Tahap Dalam Proses Pengawasan
Dalam melakukan pengawasan terhadap bawahan yang dilakukan oleh manajer ataupun atasan maka perIu dilakukan tahapan atau proses pengawasan. Menurut Kadarman (2001, hal. 161) langkah-langkah proses pengawasan yaitu:

a.       Menetapkan Standar

Karena perencanaan merupakan tolak ukur untuk merancang pengawasan, maka secara logis hal irri berarti bahwa langkah pertama dalam proses pengawasan adalah menyusun rencana. Perencanaan yang dimaksud disini adalah menentukan standar.

b.      Mengukur Kinerja

Langkah kedua dalam pengawasan adalah mengukur atau mengevaluasi kinerja yang dicapai terhadap standar yang telah ditentukan.

c.       Memperbaiki Penyimpangan

Proses pengawasan tidak lengkap jika tidak ada tindakan perbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Sedangkan menurut G. R. Terry dalam Sukama (1992, hal. 116) proses pengawasan terbagi atas 4 tahapan, yaitu:

    Menentukan standar atau dasar bagi pengawasan.
    Mengukur pelaksanaan
    Membandingkan pelaksanaan dengan standar dan temukanlah perbedaan jika ada.
    Memperbaiki penyimpangan dengan cara-cara tindakan yang tepat.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa proses pengawasan dilakukan berdasarkan beberapa tahapan yang harus dilakukan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan standard perencanaan sehingga dalam melakukan pengawasan manajer mempunyai standard yang jelas. Hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah mengukur kinerja pegawai, sejauh mana pegawai dapat menerapkan perencanaan yang telah dibuat atau ditetapkan perusahaan sehingga perusahaan dapat mencapai tujuannya secara optimal. Kemudian setelah menetapkan standar dan mengukur kinerja maka hal yang perlu dilakukan adalah membandingkan pelaksanaan dengan standar yang telah membandingkan pelaksanaan dengan standar yang telah ditetapkan. Dan yang terakhir adalah melakukan perbaikan jika ditemukan penyimpangan­-penyimpangan yang terjadi.

Tipe-tipe Pengawasan
Donnelly, et al. (dalam Zuhad, 1996:302) mengelompokkan pengawasan menjadi 3 Tipe pengawasan yaitu :

1.      Pengawasan Pendahuluan (preliminary control).

Pengawasan yang terjadi sebelum kerja dilakukan. Pengawasan Pendahuluan menghilangkan penyimpangan penting pada kerja yang diinginkan yang dihasilkan sebelum penyimpangan tersebut terjadi. Pengawasan Pendahuluan mencakup semua upaya manajerial guna memperbesar kemungkinan bahwa hasil-hasil aktual akan berdekatan hasilnya dibandingkan dengan hasil-hasil yang direncanakan.

Memusatkan perhatian pada masalah mencegah timbulnya deviasi-deviasi pada kualitas serta kuantitas sumber-sumber daya yang digunakan pada organisasi-organisasi. Sumber-sumber daya ini harus memenuhi syarat-syarat pekerjaan yang ditetapkan oleh struktur organisasi yang bersangkutan.

Dengan ini, manajemen menciptakan kebijaksanaan-kebijaksanaan, prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang ditujukan pada hilangnya perilaku yang menyebabkan hasil kerja yang tidak diinginkan di masa depan. Dipandang dari sudut prespektif demikian, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan merupakan pedoman-pedoman yang baik untuk tindakan masa mendatang.
Pengawasan pendahuluan meliputi; Pengawasan pendahuluan sumber daya manusia, Pengawasan pendahuluan bahan-bahan, Pengawasan pendahuluan modal dan Pengawasan pendahuluan sumber-sumber daya financial.

2.      Pengawasan pada saat kerja berlangsung (cocurrent control)

Pengawasan yang terjadi ketika pekerjaan dilaksanakan. Memonitor pekerjaan yang berlangsung guna memastikan bahwa sasaran-sasaran telah dicapai. Concurrent control terutama terdiri dari tindakan-tindakan para supervisor yang mengarahkan pekerjaan para bawahan mereka. Direction berhubungan dengan tindakan-tindakan para manajer sewaktu mereka berupaya untuk: Mengajarkan para bawahan mereka bagaimana cara penerapan metode¬-metode serta prosedur-prsedur yang tepat. Mengawasi pekerjaan mereka agar pekerjaan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

3.      Pengawasan Feed Back (feed back control)

Pengawasan Feed Back yaitu mengukur hasil suatu kegiatan yang telah dilaksakan, guna mengukur penyimpangan yang mungkin terjadi atau tidak sesuai dengan standar.
Pengawasan yang dipusatkan pada kinerja organisasional dimasa lalu. Tindakan korektif ditujukan ke arah proses pembelian sumber daya atau operasi-operasi aktual. Sifat kas dari metode-metode pengawasan feed back (umpan balik) adalah bahwa dipusatkan perhatian pada hasil-hasil historikal, sebagai landasan untuk mengoreksi tindakan-tindakan masa mendatang.
Adapun sejumlah metode pengawasan feed back yang banyak dilakukan oleh dunia bisnis yaitu:

a.       Analysis Laporan Keuangan (Financial Statement Analysis)

b.      Analisis Biaya Standar (Standard Cost Analysis)

c.       Pengawasan Kualitas (Quality Control)

d.      Evaluasi Hasil Pekerjaan Pekerja (Employee Performance Evaluation)

PENYULUHAN ANTISIPASI EFEK NEGATIF TAYANGAN SINETRON TERHADAP PERILAKU REMAJA

Televisi

Berdasarkan pengamatan para ahli bidang pertelevisian menyebutkan bahwa informasi yang diperoleh melalui siaran televisi dapat mengendap dalam daya ingatan manusia lebih lama jika dibandingkan dengan perolehan informasi yang sama melalui membaca..

Tayangan Sinetron Indonesia

90% Sinetron Indonesia merupakan jiplakan dari film-film serial bangsa lain. Keadaan ini merupakan pengaruh dari pemahaman pembangunan dalam prespektif modernisasi klasik, yang menyatakan bahwa Negara berkembang akan maju apabila mengikuti seluruh aspek kehidupan  di Negara maju. Pada kenyataannya Negara berkembang akan menjadi lebih mundur apabila Negara berkembang tersebut keluar dari nilai-nilai budaya dan agama yang dianutnya.

Efek Tayangan Sinetron Pada Perilaku Remaja

Efek dalam proses belajar meliputi tahap pengetahuan (Kognitif), sikap (Afektif), dan tindakan (Konatif).

Bulan Januari sampai Agustus 2009, KPI telah menerima lebih dari 4075 pengaduan masyarakat dengan tayangan televisi yang merusak, untuk berbagai kategori tayangan. Jadi remaja harus mampu menyaring tayangan-tayangan tersebut dengan sebaik-baiknya.

Antisipasi Efek Negative Tayangan Sinetron

Para remaja harus dipahamkan dan berusaha mengaplikasikan nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan mereka. Kemudian juga yang tidak kalah pentingnya melibatkan komponen-komponen lain yaitu; orang tua, tokoh agama, para pendidik,  tokoh masyarakat, pemerintah, ormas-ormas lainnya. Kita berharap agar semua komponen peduli dan waspada terhadap efek negative tayangan sinetron bagi perilaku remaja..

PENGARUH SISTEM SOSIAL-BUDAYA TERHADAP ADOPSI INOVASI

Sistem sosial

System social adalah kesatuan unit-unit social, dimana masing-masing unit social tersebut pada hakikatnya mempunyaifungsi yang berbeda-beda dan selanjutnya bersatu serta saling bergantung untuk melaksanakan fungsi tertentu.

Norma Sosial, Nilai Hidup, dan Pandangan Hidup Masyarakat Pedesaan

Dalam masyarakat Indonesia, factor norma social, nilai hidup serta pandangan hidupmasyarakat, terutama masyarakat pedesaan sangat kuat pengaruhnya terhadap proses pembangunan dalam masyarakat bersangkutan termasuk dalam hal komunikasi inovasi.

Status dan Peranan dalam masyarakat Desa

Status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok social, Peran merupakan aspek dinamis dari peran atau kedudukan.

Jenis keputusan inovasi

Jenis keputusan keputusan : keputusan individual; Keputusan Kolektif; keputusan otoritas.

CARA-CARA MENGUKUR POTENSI DIRI

Pengembangan diri harus diawali dengan pengenalan diri, salah satu caranya adalah melalui pengukuran potensi diri. Pengenalan diri akan membantu individu melihat kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya, mengetahui hal-hal yang berkembang dengan hal-hal yang masih perlu dikembangkan. Pengukuran potensi diri dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah potensi-potensi yang dimiliki oleh seorang individu, baik yang diperoleh melalui introspeksi diri maupun malalui feed back dari orang lain serta tes psikologis.

1)  Penilaian diri

Yang dimaksud dengan penilaian diri ini adalah menilai diri sendiri. Ada juga yang mengatakan instropeksi. Sebagian orang mengatakan bahwa dengan cara ini penilaian yang dilakukan sangat subyektif, karena orang umumnya tidak mau melihat kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa yang paling kenal diri anda adalah anda sendiri.


2) Pengukuran diri melalui feed back orang lain

Feed back merupakan komunikasi yang ditujukan kepada seseorang yang akan memberikan informasi kepada orang yang bersangkutan, bagaimana orang lain terkena dampak olehnya, bagaimana kesan yang ditimbulkan pada orang lain dengan tingkah laku yang ditunjukkannya. Feed back membantu seseorang untuk menelaah dan memperbaiki tingkah lakunya dan dengan demikian ia akan lebih mudah mencapai hal-hal yang diinginkannya.


3) Tes kepribadian

Tes kepribadian merupakan salah satu instrumen untuk pengenalan diri sendiri, beberapa tes kepribadian untuk pengukuran potensi diri, yaitu: kepercayaan terhadap diri sendiri, tingkat kehati-hatian, daya tahan menghadapi cobaan, tingkat toleransi, dan pengukuran ambisi.

PERAN KOMUNIKASI SOSIAL DALAM PENDIDIKAN

Memang setiap orang akan memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda-be­da, tetapi ide tersebut bisa dipersatukan me­lalui komunikasi. Bila tetap berbeda ma­­ka itu menjadi suatu hal yang biasa di alam demokrasi. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana membangun komu­nikasi itu yang menyenangkan sehingga tujuan bisa tercapai, meski ada perbedaan pendapat. Bila komunikasi tidak berjalan de­ngan baik maka bisa menghambat suatu roda organisasi. Hal ini pun bisa terjadi dalam dunia pendidikan. Bahkan semua bidang disiplin ilmu pasti membutuhkan yang na­manya komunikasi. Disinilah pentingnya membangun komu­nikasi yang. Secara harfiah, komunikasi dapat diartikan sebagai kesamaan makna dalam menyampaikan suatu pesan. Lebih jelas bahwa dalam berkomunikasi itu dibi­carakan suatu topik yang sama.

Kata atau istilah komunikasi dalam Bahasa Inggris adalah commu­nication. Secara etimo­logis atau asal katanya adalah dari bahasa Latin yakni commu­nicatus, dan perkataan ini ber­sumber pada kata communis. Dalam kata communis ini me­miliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesa­maan makna. (Adi Prakosa). Dalam Kamus Inggris Indonesia (John M. Echlos:1996) ditemukan kata communication, yang berarti hubungan, komunikasi, pem­beritahuan, pengumuman, dan sebagainya.

Yang jelas komunikasi itu lebih kepada menyampaikan suatu pe­san yang dilakukan oleh komunikator (orang yang me­nyam­paikan pesan) kepada ko­munikan (penerima pesan) yang disertai sarana untuk mencapai suatu tujuan dengan ditandai adanya reaksi dari komunikan itu dalam merespon isi pesan tersebut. Karena dalam komunikasi harus ada timbal balik (feed back) antara komu­nikator dengan komunikan.  Begitu juga dengan pendidikan membutuhkan komunikasi yang baik, sehingga apa yang disam­paikan, dalam hal ini materi pelajaran, oleh komunikator (guru) kepada komunikan (siswa) bisa dicerna dengan optimal, sehingga tujuan pen­di­dikan yang ingin dicapai bisa terwujud.

Terkait komunikasi dalam pen­didikan, ada sejumlah orang ya­ng berperan yakni guru dan siswa. Guru merupakan orang yang dianggap mampu mentransfer materi ajar, gagasan, wawasan lainnya kepada siswa haruslah dipandang sebagai sebuah proses belajar mengajar. Tetapi guru juga tidak boleh anti kritik. Justru dengan kritik dan saran itu akan menambah wawa­san lain dan timbal balik dalam belajar akan semakin hidup dan menyenangkan. Jangan sampai guru memiliki sifat otoriter atas semua kebijakan di sekolah saat mengajar.

Jangan jadikan siswa sebagai objek. Justru sebaliknya, siswa harus dijadikan subjek dalam sebuah pembelajaran.  Di sinilah pentingnya seorang guru memiliki komunikasi yang lancar, baik dan mampu mengge­rakkan siswa untuk melakukan interaksi. Membuat suasana be­lajar menyenangkan, nyaman, dan tak tertekan. Guru bukan hanya sebagai orang yang me­ngajar, tetapi lebih dari itu yakni sebagai orang tua, rekan, maupun sahabat. Karena ada siswa yang tidak mau terbuka kepada orang tua, tetapi kepada guru bisa terbuka terkait dengan persoalan atau masalah yang sedang di­hadapinya, sehingga rasa kasih sayang dari seorang guru kepada siswa akan menjadikan motivasi tersendiri. Kemudian guru yang berperan sebagai teman harus mampu membuat siswa bergaul dengan leluasa dalam artian ada batasnya. Jelas ini akan me­nambah percaya diri siswa dalam belajar. Karena pada hakikatnya tujuan komunikasi itu adalah bagaimana bisa dan mampu merubah suatu sikap (attitude), pendapat (opinion), perilaku (behavior), ataupun perubahan secara sosial (social change).  Perubahan sikap seorang komunikan (siswa) setelah materi dari guru (komunikator) ter­gambar bagaimana sikap siswa itu dalam keseharian baik di sekolah maupun lingkungannya. Tentunya perubahan itu ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya

Kemudian perubahan pendapat siswa akan terjadi bila gagasan yang diberikan guru bersifat global. Jelas siswa akan me­nangkap materi ajar itu berbeda-beda, siswa akan mampu menafsirkan apa yang diajarkan oleh guru tadi yang kemudian bisa mengeluarkan penadapat atau beropini. Begitu juga dengan perubahan prilaku dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya apakah prilaku siswa sudah sesuai apa yang dicontohkan di sekolah, misalnya cuci tangan sebelum makan, berdoa sebelum tidur dan lain-lain. Yang tak kalah pentingnya adalah perubahan sosial, karena persoalan ini lebih kepada hubungan interpersonal, menjadikan hubungan yang lebih baik.

Daftar Pustaka

    Arief Furchan, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004).
    Burhanuddin, Analisis Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Malang : Bumi Aksara, 1994).
    Dadang Sulaeman dan Sunaryo, Psikologi Pendidikan, (Bandung : IKIP, 1983).
    I. Nyoman Bertha, Filsafat dan Toeri Pendidikan, (Bandung : FIP IKIP. 1983).

PERANAN KOMUNIKASI SOSIAL DALAM MODERNISASI DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Modernisasi menunjukkan kepada satu tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris (1760-1830) dan dari revolusi politik di Perancis (1789-1794). Ditinjau dari sudut pandangan masyarakat industri di Barat, orang dapat membuat daftar ciri-ciri satu masyarakat yang modern, tetapi tidaklah mutlak diperlukan bagi modernisasi. Proses modernisasi tidaklah seragam atau universal, oleh karena dobrakan ekonomi dan politik yang terjadi di Inggris dan Perancis pada akhir abad kedelapan belas telah menempatkan setiap Negara lainya di dunia pada kedudukan yang relatif terbelakang. Dalam perspektif ini, perubahan berlangsung lambat, berangsur-angsur dan terus-menerus serta merupakan sesuatu yang perlu perencanaan dan pemikiran bagi masyarakat yang sedang berubah.

Setiap struktur sosial mempunyai corak diferensiasi dalam (internal differentiation) dan suasana luar (external setting), perubahan dalam satu sektor tidak dapat terjadi tanpa menimbulkan reperkusi di sektor lainnya, dan ini mempunyai relevansi yang khusus dalam studi tentang modernisasi. Struktur social adalah suatu tatanan hierarki dari hubungan-hubungan social dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak tertentu (individu, keluarga, kelompok, kelas) di dalam posisi social tertentu bedasarkan suatu system nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat pada waktu tertentu (Salim, 2002). Struktur social pada dasarnya tidak sekedar perubahan struktur, melainkan terjadi perubahan kemasyarakatan (social change). Dalam struktur sosial dikenal status dan peran (Sunarto,2004).

Perubahan yang terjadi mencakup perubahan struktur ekonomi, perubahan struktur sosial, perubahan struktur ideologi, perubahan struktur kultural/ struktur ideologi yang merupakan refleksi dari dua struktur sebelumnya yang berjalan lambat.Karena bangunan ideologi selalu berada di atas, tergantung pada dinamika yang bersifat struktural yang digerakkan oleh unsur ekonomi yang bersifat materialistis. Setiap stuktur sosial memiliki ciri-ciri kekal yang bisa membantu atau menghambat modernisasi masyarakatnya.

Dengan memperhatikan hal tersebut perlu ditelaah lebih lanjut mengenai masalah modernisasi. Sejauh manakah peran komunikasi dalam modernisasi ?

PENGERTIAN MODERNISASI

Menurut Weiner dalam Sayogyo (1985) mengatakan bahwa para ahli eko-nomi memandang modernisasi terutama dalam pengertian “penerapan tehno-logi” oleh manusia untuk menguasai sumber-sumber alam demi mencip-takan peningkatan nyata dalam pertumbuhan hasil penduduk perkapita. Para ahli sosiologi dan antropologi sosial terutama berurusan dengan “proses diffe-rensiasi” yang menandai semua masyarakat modern. Dalam hal ini mereka mengamati bermacam-macam differensiasi yang terjadi di tengah-tengah pel-bagai tatanan/struktur masyarakat, begitu pekerjaan baru muncul, begitu lem-baga pendidikan yang rumit dan baru berkembang serta berbagai jenis komu-nitas baru tampil. Kalangan sarjana politik membahas serangkaian hal-hal yang menghambat dalam modernisasi tetapi memusatkan perhatian terutama pada masalah “pembinaan negara dan pemerintahan“ begitu modernisasi berlang-sung.

Menurut Smelser dalam Suwarsono (2006) mengatakan bahwa Modernisasi selalu melibatkan differensiasi struktural. Ini terjadi karena dengan proses mo-dernisasi, ketidakteraturan struktur masyarakat yang menjalankan satu fungsi sekaligus akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu fungsi yang lebih khusus. Setelah adanya differensiasi struktural, pelaksanaan fungsi akan dapat dijalankan secara lebih efisien.

Menurut Tjondronegoro dalam Sayogyo (1985) mengelompokkan tiga pengertian modernisasi yaitu a). Modernisasi diartikan sebagai westernisasi b). Pembangunan disamakan dengan modernisasi c). Pembangunan adalah peru-bahan susunan dan pola masyarakat.

Menurut Coleman dalam Suwarsono (2006) mengatakan bahwa Modernisasi harus dilihat sebagai pembangunan politik yang berkeadilan.

Menurut Koentjaraningrat (2002) mengatakan bahwa Modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Untuk orang Indonesia hal ini berarti merubah berbagai sifat dalam mentalitasnya yang tak cocok dengan kehidupan zaman sekarang.

Menurut Rostow dalam Suwarsono (2006) mengatakan bahwa Modernisasi menyangkut pertumbuhan ekonomi, yaitu mulai dari tahap masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi masa tinggi.

Menurut H.Lauer, Robert (1993) Modernisasi bagi negara terbelakang ini lebih bertujuan untuk mengejar pemenuhan kebutuhan pokok dan kemer-dekaan ketimbang Amerikanisasi atau Westernisasi, modernisasi merupakan proses bertahap, yang jelas baik modernisasi maupun industrialisasi menyang-kut unsur penting pertumbuhan ekonomi.

MODERNISASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Menurut Jahi, Amri (1988) menyebutkan bahwa teori pembangunan yang sejak akhir dasawarsa 1940 dianggap dominan ialah teori modernisasi. Teori ini menyatakan bahwa pembangunan terdiri atas beberapa tahap yang berurutan, yang satu tahap mengarah kepada tahap berikutnya yang lebih tinggi. Evolusi perkembangan ekonomi dilihat sebagai sebuah pesawat udara yang akan terbang. Dalam sebuah bukunya yang terkenal, Rostow (1960) menguraikan bahwa pada suatu tahap yang lebih lanjut, pembangunan akan mengikuti suatu proses yang disebutnya sebagai tinggal landas (take-off). Dalam hubungan ini untuk mencapai tahap industrialisasi seperti yang ada di Barat, sebuah Negara yang sedang berkembang harus melalui beberapa tahap pembangunan dalam suatu kurun waktu tertentu.

Menurut H.Lauer, Robert (1993) mengatakan bahwa kita akan mengacu pada industrialisasi sebagai pertumbuhan ekonomi yang terjadi melalui penerapan tehnologi terhadap perkembangan industri, dan mengacu pada modernisasi sebagai proses umum yang menyangkut pertumbuhan ekonomi bersama-sama dengan perkembangan sosial dan kebudayaan.

Sejumlah ahli telah berupaya menetapkan tingkat-tingkat perkembangan ekonomi dan industri. Rostow (1960) dalam Arsyad (2004) menetapkan 5 tingkat pertumbuhan ekonomi. Masing-masing adalah :

    Masyarakat Tradisional
    Tahap Prasyarat tinggal landas
    Tahap Tinggal landas
    Tahap menuju kedewasaan; dan
    Tahap konsumsi tinggi

Sebagai garis umum perkembangan ekonomi yang berkaitan erat dengan industrialisasi, tingkat-tingkat pertumbuhan yang dikemukakan Rostow dapat diterapkan pada sejumlah Negara, meskipun tidak seluruhnya. Industrialisasi bukanlah pola perubahan ekonomi dan teknologi semata, tetapi juga meru-pakan pola perubahan sosial dan kultural.

MODERNISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL
Menurut Bendix dalam Lauer (1993) bahwa Modernisasi sebagai seluruh perubahan sosial dan politik yang menyertai industrialisasi di kebanyakan Negara yang menganut peradaban Barat.

Lerner (1958) dalam Jahi (1988) menyatakan bahwa cara masyarakat tradisional di Asia Barat menerima cara hidup Barat secara bertahap. Ia melihat empati atau kemampuan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan dengan situasi orang lain dan tingkat penggunaan media massa yang tinggi sebagai karakteristik individu yang modern. Di samping itu Lerner juga me-nunjukan adanya “peningkatan harapan” sebagai akibat dari pengaruh tekanan media massa pada sifat-sifat kemoderenan.

Modernisasi mengacu pada perkembangan sosial dan kebudayaan yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi itu bertahap, meliputi periode yang sangat panjang. Inovasi tidak hanya membu-tuhkan teknologi ekonomi tetapi juga teknologi sosial. Proses perubahan ini ber-kaitan erat dengan individu kreatif.

Menurut Hagen dalam Lauer (1993) bahwa pertumbuhan ekonomi takkan terjadi tanpa perkembangan kreativitas dalam kepribadian : “… perubahan sosial takkan terjadi tanpa perubahan dalm kepribadian. Selanjutnya dikata-kan bahwa kepribadian tersebut dilihat dari sudut kebutuhan, nilai-nilai, dan unsur-unsur kognitif pandangan duniawi, bersama-sama dengan tingkat in-telejensia dan energi. Kebutuhan yang menjadi satu dimensi penting dari kepribadian dapat digolongkan menurut apakah kebutuhan itu digerakkan, agresif, pasif, atau dipelihara. Kebutuhan yang digerakkan termasuk kebutuhan untuk berprestasi, untuk mencapai otonomi dan untuk memelihara tatanan. Sehingga sangatlah berperanan kreativitas kepribadian individu dan berbagai faktor psikologis yang terlihat dalam perubahan sosial untuk mendukung per-tumbuhan ekonomi.

Dalam nada yang serupa McClelland (1961) dalam Jahi (1988) menunjukkan bahwa individu-individu modern memiliki suatu “orientasi kemajuan” yang dinyatakan dalam skor “ach”. Selanjutnya McClelland dalam Lauer (1993) mengatakan bahwa semangat kewiraswastaanlah yang mendorong perkem-bangan ekonomi. Tesis dasar McClelland adalah bahwa masyarakat yang tinggi tingkat kebutuhan untuk berprestasinya, umumnya akan menghasilkan wira-swastawan yang lebih bersemangat dan selanjutnya menghasilkan perkem-bangan ekonomi yang lebih cepat. Kebutuhan untuk berprestasi dilambangkan dengan “n achievement”.

Jika motivasi untuk berprestasi tinggi dapat menerangkan pertumbuhan ekonomi, maka motivasi untuk berprestasi yang rendah dapat menerangkan kelambatan pertumbuhan ekonomi. Contohnya : mengapa Brazilia tidak mam-pu mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, yang diperlukan untuk me-menuhi kebutuhan penduduknya yang terus membengkak itu? padahal sumber alamnya, jelas cukup tersedia. Menurut Rosen adalah karena tingkat motivasi untuk berprestasi dan sejenis nilai-nilai prestasi yang dimiliki orang Brazilia tak memadai untuk melaksanakan tugas. Jika dibandingkan dengan orang Amerika, orang Brazilia memperlihatkan tingkat motivasi berprestasi yang lebih rendah, nilai mengenai aktivismenya lebih rendah, kurang berorientasi masa depan dan penilaian atas sesuatu seperti pekerjaan dan mobilitas pisik pun lebih rendah.

Menurut Inkeles dan Smith dalam Lauer (1993) menyatakan bahwa peru-bahan sikap dan nilai-nilai adalah salah satu syarat terpenting untuk ber-fungsinya secara substansial dan efektif institusi modern bangsa. Kualitas k-pribadian seperti itu mungkin berasal dari partisipasi mereka dalam cara produksi modern seperti di pabrik, sehingga pekerja pabrik bekerja secara efektif dan efisien. Ciri-ciri modern berhubungan erat dengan pendidikan, keterbukaan terhadap media massa dan pengalaman kerja.

Peaslee dalam Lauer (1993) menyatakan bahwa perubahan sosial diperlukan untuk tercapainya modernisasi. Selanjutnya dikemukakan bahwa tiga hubung-an utama antara pendidikan dasar dan pertumbuhan ekonomi. Pertama, pendi-dikan dasar dan pertumbuhan ekonomi. Pertama, pendidikan membantu meng-hancurkan cara pandang tradisional terhadap produksi dan distribusi barang-barang. Pendidikan memberikan pandangan yang lebih luas, termasuk penge-tahuan tentang pendekatan rasional dan pengetahuan tentang ekonomi. Kedua pendidikan menyediakan masyarakat segolongan orang yang akan menunjukan cara-cara menyelenggarakan perekonomian, segolongan orang yang tidak lagi berkomunikasi atas dasar pola tradisional dari mulut ke mulut. Ketiga, syarat keuangan sistem pendidikan itu sendiri merangsang pertumbuhan ekonomi.

Dari pendapat beberapa paka tersebut menunjukkan bahwa modernisasi di-dukung oleh perubahan sosial masyarakat dalam arti kreativitas kepribadian setiap orang disertai perubahan sikap, perilaku dan nilai-nilai untuk lebih maju. Di samping itu mayarakat seharusnya mempunyai kebutuhan berprestasi yang tinggi untuk tercapainya modernisasi. Pendidikan dasar, tingkat pengetahuan masyarakat sangat berperanan terhadap pertumbuhan ekonomi.

SYARAT MODERNISASI
Syarat apa yang diperlukan untuk terjadinya modernisasi ? berdasarkan daf-tar ciri-ciri kemodernan yang dikemukakan diatas, yang mengacu padas faktor ekonomi, sosial dan psikologi-sosial dapat dikemukakan sebagai berikut :

Menurut Lauer (1993) menyebutkan : beberapa ahli berpendapat bahwa nilai-nilai, perilaku dan sikap, motivasi harus dirubah dahulu untuk dapat ber-langsungnya modernisasi. Modernisasi mencakup industrialisasi, sehingga per-tumbuhan ekonomi yang berkelanjutan menurut Rostow, memerlukan tiga syarat : Pembangunan modal sosial tambahan, terutama di bidang transportasi. Pembangunan modal sosial tambahan ini selain penting untuk menciptakan pasar dalam negeri dan untuk memungkinkan pengolahan sumber alam secara produktif, juga untuk memungkinkan terselenggaranya suatu pemerintahan nasional yang efektif dan berwibawa.

Revolusi tehnologi di bidang pertanian.
Perluasan impor yang dibiayai dengan meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran sumber alam yang berlebih, bila mungkin impor modal.Faktor lain, sama pentingnya meskipun para ahli agak lebih sependapat mengenai jenis-jenis faktor non ekonomi yang diperlukan bagi pembangunan. Rostow menge-mukakan peningkatan “cakrawala harapan” di kalangan massa rakyat dan faktor politik sebagai syarat non-ekonomi yang penting bagi modernisasi. Jadi ia telah menyinggung dua kategori factor non ekonomi yakni faktor struktural dan psikologi-sosial.

KOMITMEN TERHADAP MODERNISASI
Menurut Lauer (1993) ada empat alasan mengapa komitmen terhadap modernisasi sukar dicapai :

Rakyat dituntut meninggalkan cara-cara lama, terutama pola hubungan lama, mereka harus meninggalkan hubungan kekeluargaan tradisional dan tanggung jawab kekeluargaan tradisional. Setiap perubahan yang dapat meng-ancam hubungan antar pribadi lama, mungkin akan di tentang.

Karena rakyat biasanya dituntut mengorbankan kepentingan pribadi demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bangsa. Dengan kata lain, komitmen mereka mungkin lebih tertuju bagi kepentingan diri sendiri daripada memi-kirkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Menurut istilah ekonomi kebu-tuhan terhadap barang dan jasa berlawanan dengan kebutuhan terhadap aku-mulasi modal dan pertumbuhan.

Rakyat di tuntut mengerjakan tugas-tugas yang menimbulkan ketegangan psikis. Industrialisasi memerlukan individu mengerjakan pekerjaan yang me-nuntut pengorbanan psikis sangat besar.

Karena pemimpin yang menuntut rakyatnya berkorban itu kurang menun-jukkan tanda-tanda berkorban. Sementara menuntut rakyat hidup prihatin, mereka hidup mewah. Bila edit modern ingin segera mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi, apalagi rakyat kecil yang tak sabar menunggu hingga ke masa datang yang tak dapat mereka tentukan.

Telah dikemukakan, berbagai nilai dan sikap penting untuk mencapai modernisasi, tetapi sebagian besar nilai dan sikap ini berkaitan dengan masalah komitmen. Penerimaan ideology nasional, keinginan untuk menjadi lebih mobil, menyetujui norma-norma rasional sekuler pada hakekatnya berkaitan dengan komitmen terhadap modernisasi.

PERANAN KOMUNIKASI DALAM MODERNISASI
Menurut McClelland dalam Nasution, Zulkarimen (1992) analisa yang paling orisinal dan provokatif adalah komentarnya yang berhubungan langsung dengan masalah komunikasi, yakni perihal pentingnya opini pablik bagi pemba-ngunan.Dalam pembangunan ekonomi, kekuatan yang merangkum masyarakat adalah bergerak dari tradisi yang melembaga, ke opini publik yang dapat mengakomodir perubahan, dan hubungan interpersonal yang spesifik serta fungsional.

Inkeles dan Smith dalam Jahi, Amri (1988) berpendapat bahwa komunikasi massa, pendidikan massa, dan industrialisasi merupakan beberapa cara sosialisasi yang paling penting.Menurut lerner (1958), Pye (1963), Schramm (1964) dalam Jahi, Amri (1988) mengatakan bahwa komunikasi pembangunan juga menggunakan “tetesan ke bawah”. Menurut model ini, informasi dan pengaruh mengalir dalam satu arah, dari pengirim ke penerima. Sifat ini menyebabkan pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan dari “atas ke bawah” , “pipa” , atau “pusat dan daerah” (Fett dan Schneider,1973; Galtung , 1971; Thiesenhusen, 1978) dalam Jahi, Amri (1988).

Dari berbagai ulasan yang dikemukakan, terdapat beberapa peran komu-nikasi dalam modernisasi, yakni :

Komunikasi persuasif akan mempengaruhi perubahan nilai-nilai, sikap men-tal, perilaku, kepribadian yang kreatif, motifasi untuk berprestasi yang sangat mendukung terwujudnya modernisasi. Komunikasi persuasif akan mempe-ngaruhi nilai budaya untuk berorientasi ke masa depan, sehingga setiap individu akan mempunyai motivasi untuk berkarya, berinovasi, bersikap hemat untuk menabung, disiplin, yang sangat berperan dalam modernisasi. Komu-nikasi persuasif akan mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proyek pembangunan maupun di luar proyek pembangunan. Misalnya : Proyek penghijauan, perbaikan jalan desa, perbaikan saluran air, dsb.

Komunikasi Interaktif dalam bidang pendidikan formal dan non formal sangat berperan dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk dapat ber-karya, disiplin, bertanggung-jawab, berprestasi dan berkualitas merupakan factor yang sangat penting dalam modernisasi. Demikian pula komunikasi in-teraktif dalam pengasuhan di rumah tangga sangat menentukan keberhasilan generasi penerus dalam melaksanakan program-program pembangunan mi-salnya : melalui bacaan ceritera anak-anak yang berorientasi “N Ach”, yang biasanya dibaca pada waktu di luar jam sekolah. Komunikasi Interaktif yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat perdesaan sehingga pro-gram-program pembangunan akan bermanfaat pula bagi masyarakat per-desaan, tidak hanya bisa dinikmati oleh kalangan pembuat kebijakan.

Komunikasi melalui media massa sangat berperan dalam meningkatkan Ilmu pengetahuan dan tehnologi terhadap masyarakat untuk terwujudnya moder-nisasi. Komunikasi persuasif akan mempengaruhi para petani produsen untuk meningkatkan usaha taninya kearah agribisnis dan agrobisnis sehingga subtitusi impor meningkat, hal tersebut harus disertai pula kebijakan yang menguntungkan bagi petani sebagai perangsang untuk berproduksi, dengan demikian sangat mendukung modernisasi.

Peranan komunikasi tersebut di harapkan akan menimbulkan perubahan yang menguntungkan di berbagai bidang kehidupan : demografi, system stra-tifikasi, , pendidikan, system keluarga, nilai, sikap serta kepriba-dian yang sangat penting bagi proses modernisasi di Indonesia.

KIRITIK TERHADAP TEORI MODERNISASI
Kritik terhadap teori modernisasi menurut Jahi, Amri (1988) adalah bahwa asumsi-asumsi yang dianut oleh model “tetesan ke bawah” ialah sebagai berikut : (1) pembuatan keputusan terjadi pada tingkat individu, (2) kegagalan terjadi karena kegagalan individu, (3) keahlian identik dengan pendidikan formal dan kemampuan melakukan riset ilmiah, (4) komunikasi satu arah, (5) bias pro-inovasi, dan (6) pendefinisian pembangunan oleh badan-badan dalam system sumber. Penelitian tentang proyek-proyek pembangunan yang dilakukan belum lama ini menunjukkan bahwa : (1) studi tentang kondisi sosial dan structural dimana individu-individu bekerja perlu dilakukan, (2) nilai pengetahuan teknis asli setempat harus dihargai, (3) peranan partisipasi dan umpan balik sangat berguna untuk mencegah hasil yang tidak diharapkan dan negatif, dan (4) redefinisi pembangunan seharusnya dilakukan oleh khalayak yang dituju dalam system pemakai.

Nasution, Zulkarimein (1992) bahwa teori yang dikemukakan oleh Rostow tentang pertumbuhan ekonomi ini dinilai (1) bersifat etnosentrik; yaitu membantu menjadikan pengalaman negara Barat sebagai model yang harus disamai oleh negara-negara yang sedang berkembang dengan mengabaikan keunikan dalam hal latar-belakang historis, kultural, dan lain-lain yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. (2) telah menempatkan suatu pandangan sejarah yang unilinear yang berkaitan dengan butir pertama di atas. Para kritisi berpendapat , bukan hanya satu melainkan banyak jalan menuju ke pemba-ngunan, dan jalan yang telah ditempuh oleh negara-negara industrial bukan satu-satunya jalan. (3) pendekatan ini berkonsentrasi hanya pada faktor-faktor endogen dalam pembangunan. Padahal menurut para kritisi, kita hidup dalam suatu dunia yang amat interdependen. Dengan demikian masalah yang di-hadapi oleh negara-negara di Dunia ketiga hanya dapat difahami sepenuhnya dengan melihat baik faktor-faktor endogen maupun eksogen. Bahkan sebagian besar dari faktor endogen itu, dalam pendapat para kritisi, merupakan kon-sekuensi dari faktor-faktor eksogen tadi. (4) pendekatan ini memberi tekanan yang amat besar pada individual dan menimpakan kesalahan pada pundak mereka itu tanpa secukupnya turut mempertimbangkan factor struktur sosial dimana si individu tersebut bergabung. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa pendukung pendekatan ini seringkali menuduh bahwa para petani di negara berkembang merupakan orang-orang yang terlalu tradisional, konvensional, percaya pada hal-hal yang tidak rasional, fatalistik, dan tidak memiliki ke-trampilan kewiraswastaan serta tidak termotivasi oleh etos bekerja keras. Pada kritisi berpendapat tuduhan itu bukan saja salah tempat, tapi juga sama sekali telah mengabaikan kenyataan struktur sosial yang sebenarnya akan menje-laskan dengan lebih meyakinkan penyebab dari hal-hal yang dituduhkan tadi. (5) pendekatan ini telah menguntungkan lapisan yang lebih kaya dalam ma-syarakat, dengan mengorbankan kaum miskin. Pendekatan tersebut hanya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak dipikirkan masalah pemerataan pembagunan. Pendekatan ini tampaknya membela strategi dari atas-ke-bawah, dan akibatnya sebagian besar masyarakat tidak dilibatkan da-lam proses pembuatan keputusan.Demikian kritik terhadap teori modernisasi yang dikemukakan oleh beberapa pakar.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN. Yogyakarta.

Jahi, Amri. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga. PT Gramedia, Jakarta.

Koentjaranigrat.2002 Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Lauer, Robert H, 1993. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Rineka Cipta, Jakarta.

Nasution, Zulkarimein. 1992. Komunikasi Pembangunan : Pengenalan Teori dan Penerapannya. CV Rajawali, Jakarta.

Sayogyo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. FPS IKIP bekerjasama dengan BKKBN, Jakarta.

Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial. PT.Tiara Wacana. Yogyakarta.

Suwarsono dan Alvin Y. So. 2006. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES, Jakarta.

Sunarto, Kamanto.2004. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Weiner,Myron. 1986. Modernisasi dinamika Pertumbuhan. Gadjah Mada Uni-versity Press, Yogyakarta.

Top