Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Teori perubahan sosial dikemukakan oleh para ahli dengan aksentuasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Terlepas dari perbedaan pandangannya, yang jelas, para ahli sepakat bahwa perubahan sosial terkait dengan masyarakat dan kebudayaan serta dinamika dari keduanya. Ogburn tidak memberi definisi tentang perubahan-perubahan sosial, melainkan memberikan pengertian tertentu tentang perubahan-perubahan sosial itu. Dia mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang non-material. Yang ditekankannya adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur non-material (Soekanto, 1990). Dengan pengertian ini sebenarnya Ogburn mau mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial terkait dengan unsur-unsur fisik dan rohaniah manusia akibat pertautannya dengan dinamika manusia sebagai suatu totalitas.

Perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku manusia (yang bersifat rohaniah) lebih besar dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kebudayaan yang bersifat material. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, geografis, atau biologis (unsur-unsur kebudayaan material) menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya (pola pikir, pola sikap, dan pola tingkah laku). Pengertian tentang perubahan sosial juga dikemukakan oleh Gillin dan Gillin.

Kedua ahli ini mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Soekanto, 1990). Pengertian yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin ini menunjuk pada dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut tentang cara ia hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan, dinamika kependudukan maupun filsafat hidup yang dianutnya setelah ia menemukan hal-hal baru dalam kehidupannya.

Menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Urbanisasi adalah bagian dari kompleksitas perubahan-perubahan sosial seperti yang dikemukakan oleh Ogburn, Gillin dan Gillin di atas. Kondisi-kondisi ekonomis, geografis, komposisi penduduk, ideologis, biologis, temuan-temuan baru dan lain-lain mendorong orang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tekanan ekonomi di daerah perdesaan yang dirasakan oleh penduduk, tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer seperti sandang pangan papan, “ideologi” kota dan variasi gaya hidupnya yang modern serta menjanjikan memiliki daya tarik bagi masyarakat desa untuk berpindah ke kota. Perubahan sosial yang didefinisikan oleh Koenig sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, termasuk dalam terminologi urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota. Adanya perubahan pola kehidupan kota mempengaruhi pola kehidupan desa. Dengan kata lain dalam hubungan timbal balik, penetrasi budaya kota-desa atau sebaliknya sebagai akibat dari kemajuan komunikasi, transportasi dan ilmu pengetahuan serta teknologi, pola kehidupan masyarakat desa dan kota mengalami modifikasi yang sangat signifikan. Peralihan pekerjaan dari sebelumnya petani menjadi pekerja industri atau karyawan pabrik mengubah cara orang desa yang berpindah ke kota itu bersikap dan bertingkah laku. Di kota ia mengenal berbagai kemajuan yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya sewaktu berada di desa. Di sana ia beradaptasi, mengalami dan mempelajari semua cara hidup dan gaya hidup kota dan akhirnya semua ”ideologi kota” itu terinternalisasi dalam dirinya melalui suatu proses yang oleh Tarde dinamakan “imitation process” (proses peniruan).

Dalam proses peniruan ini, mereka bisa terjebak dalam kedua ekstrim ini, meniru hal-hal yang positif dan kemudian bisa mempengaruhi sikap hidupnya (misalnya dari sebelumnya ia bersikap lamban dan malas menjadi rajin, cekatan dan gesit dalam bekerja sesuai dengan kondisi hidup kota) atau meniru gaya hidup kota yang bersifat negatif. Seorang warga desa yang di desanya rajin shalat, sopan dan ramah bisa berubah menjadi penjahat dan orang yang tidak bertakwa tatkala ia berpindah ke kota. Desakan sosial, ekonomi dan pergaulan kota yang serba keras bisa menjerumuskan manusia yang sebelumnya “baik” itu menjadi “jahat”. Di lain pihak, sosiolog Indonesia, Selo Soemardjan lebih melihat perubahan sosial itu dari kaca mata perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat. Perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan itu mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pengertian perubahan sosial menurut Soemardjan ini tidak berbeda jauh dengan Kingsley Davis yang mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (Soekanto, 1990). Ketika struktur masyarakat berubah, maka fungsi dan peran, pola pikir dan pola sikap masyarakat pun berubah. Pengertian perubahan sosial menurut Soemardjan dan Davis ini erat sekali kaitannya dengan pandangan klasik Durkheim (Kamanto, 2000) tentang perkembangan masyarakat dari sistem yang berkarakteristik mekanik (yang penuh kekeluargaan, keintiman, masing-masing orang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa memerlukan bantuan orang, belum adanya spesialisasi pekerjaan, adanya kesadaran kolektif bersama) ke sistem masyarakat yang berkarakteristik organik. Masyarakat organik ini sudah maju di mana setiap orang bekerja sesuai dengan keahliannya dan saling bergantung satu sama lain, adanya norma hukum yang telah disepakati, terbentuknya ikatan-ikatan atas dasar profesi atau pekerjaan, hubungan antara manusia berdasarkan kepentingan, dsb.

Hubungan sosial pada masyarakat mekanik sangat erat dan intim, sebaliknya pada masyarakat organik hubungan sosial sudah sangat longgar dan terbentuk atas dasar kepentingan dan interest. Pandangan Durkheim ini tidak berbeda jauh dengan pandangan Ferdinand Tonnies tentang bentuk masyarakat Gemeinschaft dan Gesselschaft di mana yang pertama dicirikan oleh adanya keintiman, persaudaraan sosial yang erat, adanya ikatan emosional yang kuat, sedangkan yang kedua lebih dicirikan oleh adanya kepentingan, tidak adanya ikatan emosional, segala sesuatu berdasarkan atas rasio, hubungan sosial menjadi longgar dan sebagainya. Masyarakat Gemeinschaft lebih ditujukan kepada masyarakat tradisional yang belum maju, sedangkan masyarakat Gessellschaft lebih untuk masyarakat perkotaan yang sudah maju dan terbuka. Perubahan struktur kemasyarakatan dari yang sebelumnya mekanik atau Gemeinschaft dan kemudian menjadi organik atau Gessellschaft akan mempengaruhi perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku orang. Perubahan struktur kemasyarakatan itu akan mempengaruhi perubahan fungsi dan peran-peran masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam pergeseran sistemik itu adalah satu kesatuan yang mempengaruhi perubahan-perubahan sosial yang sangat kompleks. Perubahan sosial yang oleh Soemardjan dan Davis lebih menekankan pada perubahan struktur kelembagaan dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya (perubahan nilai-nilai, norma, sikap, dan tingkah laku) dan juga perubahan sistem kemasyarakatan dari pola mekanik menjadi organiknya Emile Durkheim atau perubahan dari Gemeinschaft menjadi Gesselschaftnya Ferdinand Tonnies adalah juga gejala perubahan sosial pada perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Kemajuan komunikasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berbagai informasi yang masuk ke wilayah perdesaan mampu mengubah struktur kelembagaan dan sistem sosial desa. Sistem sosial desa yang mungkin sebelumnya sangat eksklusif dan tertutup oleh karena pengaruh budaya dan adat istiadat nenek moyang lambat laun berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan pengaruh-pengaruh asing dari luar. Lembaga-lembaga adat desa yang selama ini menjadi sumber otoritas bagi masyarakat desa dan mengatur seluruh kehidupan waga desa tidak lagi menjadi rujukan dan pegangan hidup masyarakatnya. Perubahan sosial sebagai modifikasi pola-pola kehidupan manusia seperti yang dikatakan oleh Koenig di atas terjadi pada struktur kelembagaan dan sistem sosial desa. Kehidupan manusia desa tidak lagi statis, melainkan dinamis, bertumbuh, dan berkembang sebagai sebuah organisme sosial. Pola kehidupan masyarakat Desa berubah dari sebelumnya eksklusif menjadi terbuka. Urbanisasi mengubah struktur yang tertutup itu menjadi struktur yang terbuka, sistem sosial desa menjadi longgar, elemen-elemennya tidak lagi bersatu seperti sebelumnya, tetapi sudah terlepas dan bergabung dan beradapatasi dengan sistem sosial lain (sistem sosial kota). Tatkala struktur dan sistem sosial masyarakat Desa yang berpindah ke kota (urbanisasi) berubah dari sebelumnya mekanik menjadi organik, atau dari Gemeinschaft menjadi Gessellschaft, pada saat yang sama terjadi perubahan pola pikir, perubahan norma dan tata nilai, perubahan cara pandang dan sebagainya. Orang desa yang berpindah ke kota dan menetap di kota sudah tercabut dari akar sosial dan akar kebudayaan desanya. Mereka mengalami proses peleburan (melting pot) dengan budaya dan gaya hidup kota, mengalami adaptasi dan asimilasi dengan nilai-nilai kota (Jelamu, 1999).

Keintiman dan persaudaraan dalam hubungan sosial seperti di desa menjadi sirna bahkan hilang.

kesadaran bersama (collective consciousness) sebagaimana halnya ketika mereka berada di desa, soliditas dan solidaritas menjadi longgar, norma-norma kehidupan desa perlahan-lahan berubah bahkan hilang. Mereka masuk ke dunia baru, dunia kota dengan segala atributnya. Mereka beralih dari pola sikap dan cara hidup yang sebelumnya mekanik dan Gemeinschaft menjadi organik dan Gesselschaft. Dalam proses perubahan struktur ini, terjadi proses peniruan (imitation process). Sebagian masyarakat desa yang beruntung dan memiliki akses untuk mengambil bagian dalam kepemilikan berbagai sumber daya yang tersedia di kota secara perlahan menyesuaikan diri dengan style kota seperti cara berpakaian, cara berbahasa, cara bergaul, pola mengkonsumsi makanan dan sebagainya. Mereka berjuang untuk menyamai gaya hidup warga kota lainnya (membeli rumah, motor, mobil, masuk ke tempat rekreasi secara teratur, nonton film dan sebagainya). Perubahan struktur, sistem sosial, nilai, sikap dari bergaya lama (gaya desa) menjadi gaya baru (gaya kota) ini merupakan elemen-elemen perubahan sosial kemasyarakatan baik yang dianut secara individual maupun secara bersama-sama dalam suatu sistem sosial. Di pihak lain, tidak semua warga desa yang berpindah ke kota mengalami nasib untung. Bahkan sebagian besar masyarakat Desa yang pindah ke kota justru menjadi lebih sengsara bila dibandingkan ketika ia tinggal di desanya. Bagi warga desa yang tidak memiliki kualitas sumber daya manusia yang cukup sebagaimana yang dituntut dalam kehidupan perkotaan, proses perubahan dari mekanik menjadi organik, gemeinschaft menjadi gessellscaft menciptakan “culture schok” atau gegar budaya yang tidak kecil, yang membawa efek-efek psikologis yang juga tidak kecil. Ketidaksiapan mental dalam menghadapi “budaya hidup kota” yang serba cepat, penuh persaingan dan kompetisi melahirkan konflik-konflik bathin yang menyebabkan stress bahkan gila. Rendahnya “bargaining position” warga desa yang sudah menjadi warga kota dengan warga kota yang lain dan tuntutan hidup kota karena terbatasnya pendidikan, pengalaman, keterampilan, menjadikan warga desa itu sebagai kelompok masyarakat yang bernasib sial. Akibatnya mereka menjadi golongon terbawah dari warga kota, kaum yang terpinggirkan. Mereka menjadi kaum pengangguran yang semakin miskin dan menambah jumlah pengangguran yang sebelumnya sudah ada di kota. Segregasi penduduk desa itu pada umumnya mendiami wilayah-wilayah kumuh di daerah –daerah perkotaan yang jumlahnya sangat banyak dan menjadi pemicu dalam masalah-masalah sosial perkotaan. Segregasi penduduk kota berdasarkan stratifikasinya semakin kental sejalan dengan dinamika dan kepadatannya. Penduduk kota yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi menempati wilayah-wilayah kota yang strategis dan mahal dengan berbagai fasilitas. Mereka mengelompokkan diri sebagai warga kota “yang lain dari pada yang lain”. Mereka menikmati fasilitas-fasilitas kota yang mahal dan tak terjangkau oleh warga kota kebanyakan. Mereka tinggal di rumah-rumah mewah seperti di Jakarta terdapat di Pondok Indah, Menteng, Muara Karang, dan lain-lain. Segregasi ini tidak saja berdasarkan kemampuan ekonomi, tetapi juga karena kesamaan etnik.

Kepadatan penduduk (density) yang mendiami wilayah kota, keberagaman (heterogenitas) akibat laju urbanisasi yang hampir tidak bisa dibendung membuat manusia warga kota tidak saling mengenal, sebuah masyarakat anonim, hubungan sosial di antara warga bersifat dingin dan dangkal, tidak ada kehangatan persaudaraan yang manusiawi, yang satu mencurigai yang lain dan lain-lain. Struktur dan sistem sosial daerah perkotaan menjadikan penduduknya tidak bersahabat satu sama lain, adanya gejala dehumanisasi, nilai-nilai kemanusiaan menjadi pudar dan sebagainya. Dinamika masyarakat Gessellschaft yang agresif ini menjadikan hubungan antara manusia lebih didasarkan pada kepentingan dan keuntungan pribadi. Pada tingkatnya yang lain, persaingan dan kompetisi kota yang keras dan kejam menyebabkan manusia seperti yang dikatakan oleh Hobbes terperangkap dalam adagium “homo homini lupus”, manusia menjadi serigala bagi sesamanya.

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top